nusabali

Tradisi Siat Sampian di Pura Samuantiga Kembali Digelar

Sempat Dua Tahun Tak Dilaksanakan Akibat Pandemi

  • www.nusabali.com-tradisi-siat-sampian-di-pura-samuantiga-kembali-digelar

GIANYAR, NusaBali
Serangkaian Karya Padudusan Agung Bhatara Turun Kabeh di Kahyangan Jagat Pura Samuantiga Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar digelar tradisi Siat Sampian pada Buda Umanis Kulantir, Rabu (20/4).

Tradisi yang diwarisi secara turun temurun dan tercatat dalam Purana ini merupakan simbol perlawanan Dharma atas Adharma untuk memohon kesejahteraan lahir dan batin kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tradisi Siat Sampian ini sempat tidak digelar selama pandemi Covid-19 melanda, yakni di tahun 2020 dan 2021.

Bendesa Adat Bedulu Gusti Ngurah Serana menjelaskan tradisi perang atau siat sampian digelar di areal Jaba Tengah Pura. Menggunakan jejahitan sampian yang sebelumnya sebagai perlengkapan banten upakara. "Sampian ini dijadikan senjata perang," jelasnya. Pengayah yang menjalankan tradisi tidak sembarangan. Merupakan orang-orang pilihan yang telah mengikuti sejumlah rangkaian upacara penyucian secara Niskala.

"Pengayah perempuan disebut Permas. Pengayah laki-laki disebut Parekan," jelas Gusti Ngurah Serana yang menjabat anggota DPRD Kabupaten Gianyar ini. Pengayah Parekan yang terlibat bisa mencapai 400-an orang. Sedangkan Pengayah Premas lebih sedikit sekitar 35 orang. "Tradisi ini sudah dari dulu. Tercatat di Purana, mengenai tatanan acara sudah tercatat. Ini merupakan sejarah, kami tidak membuat-buat, sudah dari turun temurun. Bagi semua pengayah dan umat yang ngayah disini, dasarnya semua Lascarya," jelasnya.

Tradisi Siat Sampian ini terdiri dari beberapa tahap. Pertama dimulai oleh Pengayah Permas yang memiliki waktu dari matahari terbit hingga tengah hari pukul 12.00 Wita. Pengayah Permas melakukan gerakan Nampiog, yaitu menari keliling pura sebanyak 11 kali searah jarum jam. Setelah itu, dilanjutkan oleh Pengayah Parekan dengan prosesi Ngombak, yang menirukan gerakan ombak. Dalam kegiatan Ngombak para pengayah berbaris dengan berpegangan tangan lalu mengikuti gerakan maju mundur di depan pelinggih berulang-ulang kali, jika ada komando berhenti baru bisa selesai.

Tradisi ini diiringi tabuh gong dan angklung membuat para pengayah bertambah semangat dan antusias dalam berperan. Setelah Nampiog dan Ngombak, Pengayah dapat mengambil sampian satu orang satu bahkan boleh mengambil dua. Saat semua pengayah perempuan memegang sampian barulah dimulai perangnya. Setiap peserta memandang teman mainnya juga sebagai musuh untuk dikalahkan.

Untuk menentukan pemenang dalam pertunjukan ini, dapat dilihat dari pemain yang dapat memukul teman atau lawan mainnya sebanyak 3 kali dengan senjata sampian. Setelah menentukan pemenangnya, pertunjukan untuk tahap Pengayah Permas pun diakhiri dan para pengayah menaruh sampiannya kembali ke tempat semula.

Setelah pertandingan Pengayah Permas selesai, dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu pertandingan Pengayah Parekan. Jumlahnya mencapai ratusan orang. Mereka saling kejar, saling pukul dan menghindar, ditambah lagi iringan tabuh membuat mereka semakin menggebu-gebu dan menikmati perang tersebut.

Pelaksanaan Siat Sampian kemarin sudah dimulai pukul 11.00 Wita hingga berakhir pukul 12.30 Wita. Makna yang terdapat dalam Tradisi Siat Sampian ini selain sebagai penghormatan bersatunya sekte-sekte yang ada di Bali, juga sampian tersebut sebagai simbol senjata cakra Dewa Wisnu yang diartikan juga sebagai simbol perlawanan Dharma (kebajikan) atas Adharma (kejahatan), dan yang terakhir dengan digelarnya Tradisi Siat Sampian ini diharapkan penduduk Desa Bedulu, Gianyar agar selalu dilimpahkan ketenteraman dan kerukunan sesama penduduk Desa Bedulu. Setelah berlangsung Tradisi Siat Sampian, Ida Bhatara sami yang lunga ke Pura Samuantiga tedun Mapurwa Daksina kemudian kembali ke payogan masing-masing.

Salah satu Pengayah Parekan, I Putu Ariawan mengaku merasakan semangat luar biasa setelah menjalankan tradisi sakral siat sampian ini. "Sudah pasti lelah, berpeluh karena kita terus bergerak. Berlari keliling pura. Tapi semangatnya luar biasa," ungkap Perbekel Bedulu ini. Putu Ariawan mengatakan ayah-ayahan ini diwarisi secara turun temurun. Tercatat Putu Ariawan mulai ngayah memarekan sejak tahun 2000. "Kira-kira sudah 22 tahun saya ngayah Parekan. Turun temurun dari keluarga," ujarnya. Dia pun berharap tradisi ini tetap dipertahankan agar tidak tergerus zaman. *nvi

Komentar