nusabali

Matigtig Pakai Papah Biu, Upaya Melepas Penyakit Niskala

Ritual Unik Saat Aci Tatebahan di Desa Adat Bugbug, Karangasem

  • www.nusabali.com-matigtig-pakai-papah-biu-upaya-melepas-penyakit-niskala

AMLAPURA, NusaBali
Aci Tatebahan di Desa Adat Bugbug, Kecamatan/Kabupaten Karangasem digelar setahun sekali saat Wewaran Beteng sebelum Purnama Jiyesta.

Kali ini aci digelar di depan Pura Bale Agung Desa Adat Bugbug pada Sukra Umanis Ukir, Jumat (15/4) sehari sebelum Purnama Jiyesta, Saniscara Paing Ukir, Sabtu (16/4). Uniknya dalam Aci Tatebahan ini ada ritual khusus yang bertujuan untuk melenyapkan segala kotoran bathin dan penyakit niskala dalam diri, yakni ritual matigtig (saling pukul secara bergantian) gunakan senjata papah biu (pelepah pisang).

Ritual yang dimulai pukul 09.00 Wita ini diikuti puluhan krama lanang (pria) dari 12 banjar adat yang ada di Desa Adat Bugbug. Sebelum ritual matigtig digelar terlebih dahulu para peserta sembahyang dan nunas tirta wangsuh. Tidak ada raut muka tegang atau sedih, semua peserta tampak bergembira dan penuh semangat saat mengikuti ritual ini.

Baga Parahyangan Desa Adat Bugbug Jro Wayan Artana mengungkapkan sebelum ritual matigitig digelar terlebih dahulu krama lanang dari 12 banjar adat yang mengenakan pakaian adat tanpa baju sembahyang di Pura Kahuripan Tohjagat disertai mohon tirta wangsuh agar dikarunia kesehatan lahir dan bathin. Harapannya saat ikut ritual matigtig tubuhnya yang dipukul menggunakan pelepah pisang seluruh kotoran bathin dalam tubuh bisa lenyap.

"Makanya sebelum matigtig, seluruh krama mohon (ngelungsur) tirta wangsuhpada (tirta suci), jika dalam dirinya masih ada kotoran bathin maka nantinya setelah dipukul gunakan pelepah pisang, penyakitnya bisa hilang dan kembali bugar, itu tujuannya," katanya. Selanjutnya usai sembahyang krama peserta ritual matigtig menuju Pura Bale Agung. Sedangkan senjata pelepah pisang telah disiapkan krama 12 Banjar Adat se-Desa Adat Bugbug. Begitu juga krama lanang terutama kaum pemuda dihadirkan dari 12 banjar adat itu untuk adu kuat saling tigtig dengan pelepah pisang.

Ke-12 banjar adat itu, yakni Banjar Puseh Mandala Puspa, Banjar Bancingah, Banjar Madia, Banjar Darmalaksana, Banjar Segaa, Banjar Celuk Kangin, Banjar Celuk Kauh, Banjar Dukuh Tengah, Banjar Baruna, Banjar Garia, Banjar Bukit Asah dan Banjar Samuh.

Setelah Baga Parahyangan Jro Wayan Artana memberikan aba-aba ritual bisa dimulai, maka seluruh krama langsung menggenggam senjata pelepah pisang itu. Saat matigtig digelar, krama bukan saling serang, tetapi satu sama lain berpasang-pasangan untuk memukul bagian punggung secara bergantian.

Satu krama memukul punggung krama lain, hingga pelepah pisang hancur dan tidak bisa dipakai lagi, begitu sebaliknya bergantian. Memukul punggung bergantian hingga pelepah pisang sampai habis. Pihak krama yang dipukul, berusaha menahan diri sekuat tenaga, begitu juga yang memukul berupaya memukul sekuat tenaga, sehingga pada akhirnya semua krama yang terlibat mengalami luka lebam di punggung dan tangan.

Makanya, seluruh krama yang terlibat tidak ada yang merasakan sakit saat dipukul gunakan pelepah pisang, malah selalu ceria dan bersemangat. "Pukulan pelepah pisang itu sebenarnya obat untuk melenyapkan penyakit yang bersarang di dalam tubuh," tambahnya.

Jro Wayan Artana memaparkan ritual itu sebenarnya sebagai bentuk penghormatan kepada Ida Bhatara Gede Praja Petak atau Ida Bhatara Gede Bandem yang merupakan putra dari Ida Bhatara Gede Gumang berstana di Pura Kahuripan Tohjagat di Banjar Ulun Padang, Desa Bugbug.

Selama ini dipercaya telah memberkati kemakmuran, berupa hasil bumi, sehingga dalam aci yang digelar kali ini bertujuan untuk menghaturkan rasa syukur dengan menggelar yadnya, mempersembahkan hasil bumi dengan harapan agar di kemudian hari tetap diberkati kemakmuran.

"Aci ini mengandung makna memuliakan berkah Ida Bhatara Gede Praja Petak dengan harapan di kemudian hari diberkati kemakmuran kembali," jelas Jro Wayan Artana yang juga Kasek SMK Negeri 1 Amlapura ini. Krama dari Banjar Garia, I Ketut Yoga Aditya Pradnyana mengaku saat dipukul tidak terasa sakit. "Saat dipukul hanya terkejut, walau dipukul berkali-kali selanjutnya tidak sakit. Sampai ada luka lebam, tapi nanti akan hilang dengan sendirinya," ujar Yoga Aditya.

Kelian Banjar Darmalaksana, I Ketut Suastawa malah mengaku tidak merasakan sama sekali saat dipukul pakai pelepah pisang. "Ini lihat, tidak ada luka lebam," ujarnya sembari memperlihatkan badannya yang kekar karena rajin fitness ini. Begitu juga menurut krama dari Banjar Bencingah, Kade Radiana. Dia mengaku tidak merasakan sakit, walau di bagian tangannya lebam. "Ini lebam biasa nanti juga hilang," jelas guru SMA PGRI Amlapura ini.

Tradisi Aci Tatebahan ini merupakan warisan turun temurun. Tradisi ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Aci Tatebahan ini disebut sebagai wujud syukur masyarakat setempat karena telah diberikan hasil pertanian yang melimpah. Sesuai dengan makna dari tradisi tersebut, sesajen yang dihaturkan pun tidak menggunakan daging, melainkan berasal dari hasil bumi yang diperoleh masyarakat setempat, seperti ubi, kacang, kelapa yang diparut menjadi telengis dan lainnya. *k16

Komentar