nusabali

Menghimpun Guyub Menuai Kenyamanan

  • www.nusabali.com-menghimpun-guyub-menuai-kenyamanan

KEBERSAMAAN dan kerukunan senantiasa menjadi dambaan hampir semua orang, karena keduanya mengandung keselarasan, tanpa pertikaian atau menghindari konflik.

Pada awalnya guyub berjalan rukun dan selaras. Namun, selaras dengan perjalanan waktu dan meluasnya ruang, benih-benih pertikaian mulai dan sering bermunculan, yang rajin berubah malas, yang santun tak etis, yang berdedikasi murtad, yang taat kearifan lokal justru memodifikasi, mengomodifikasi, atau bahkan mengeksploitasi kearifan lokal untuk kepentingan diri atau hegemoni kekuasaan, setakat dengan gagasan Antonio Gramsci yang berakar dalam tradisi pemikiran Karl Marx.

Reaksi terhadap fenomena demikian amat beragam, ada yang berpendapat hal demikian menyalahi etika leluhur, ada pula yang berdalih sebagai kemajuan dan kemaslahatan ekonomi. Kadang, nilai guyub rukun dan selaras diposisikan secara biner (binary opposition), dimaknai searah rhwa bhinneda—dua entitas yang ‘metinjakan’ meminjam tanpa izin istilah Prof Bawa Atmaja, seorang sarjana sujana yang sudah purnabhakti dari Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Kita bisa menyaksikan fenomena demikian pada guyub pekaseh-bendega-bendesa. Agar tidak terjadi ego sektoral atau untuk menguatkan ketahanan wilayah pertanian, adat dan budaya, serta ekonomi masyarakat, misalnya di Kota Denpasar dikukuhkan Sabha Upadesa. Muaranya, kerukunan dan keselarasan terjamin. Namun tidak selalu berhasil demikian di ruang dan waktu lain, apa faktor terkait yang menafikan sinergi ketiga relasi sosial itu? Apakah ada strategi analog agar kerukunan dan keselarasan guyub-guyub kearifan lokal terjamin?

Dalam tubuh manusia ada sel darah merah dan putih. Sel darah merah berfungsi mengangkut oksigen. Sel darah putih, menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi. Keping darah, yang sebenarnya merupakan fragmen dari sel sumsum tulang yang dikenal dengan nama megakariosit berperan penting dalam koagulasi darah. Eritrosit atau sel darah merah adalah salah satu jenis sel darah yang mengalir dalam tubuh. Eritrosit memerankan fungsi penting dalam kelangsungan hidup, yaitu mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh.

Analog dengan sel darah merah, misalnya seorang pekaseh memiliki fungsi memimpin setiap rapat subak yang berkaitan dengan internal dan eksternal organisasi. Sedangkan, peran pekaseh adalah mengatur ketersediaan air pada areal persawahan dalam suatu sistem irigasi tradisional. Guyub pekaseh sudah teruji keberhasilannya untuk mempertahankan nilai dan falsafah Tri Hita Karana— harmoni antara manusia dan pencipta, harmoni manusia dan alam, harmoni manusia dan manusia. Fungsi dan peran pekaseh analog dengan eritrosit yang memerankan fungsi penting dalam kelangsungan hidup, yaitu mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh. Apakah fungsi dan peran tradisional tersebut perlu diintervensi atau dimarjinalkan dengan dalih atau kaidah lain yang potensial menafikan kerukunan dan keselarasan?

Salah satu fungsi sel darah putih adalah untuk menghasilkan antibodi, yaitu zat yang dapat membasmi virus, bakteri, jamur, parasit, serta zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh. Ini menjadikan sel darah putih sebagai salah satu bagian terpenting dalam sistem imunitas atau kekebalan tubuh manusia. Analaog darah putih adalah bendega. Salah satu fungsi bendega adalah melaksanakan dan melestarikan kearifan lokal dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan religius di bidang kelautan dan perikanan serta  menetapkan awig-awig yang berlandaskan Tri Hita Karana. Pertanyaan krusialnya: Apakah fungsi dan peran tradisional bendega perlu dinafikan atau diganti dengan dalih atau kaidah lain yang potensial menafikan kerukunan dan keselarasan?

Para ahli menyebutkan jumlah eritrosit dalam darah dikarenakan adanya konsentrasi hemoglobin, umur, status nutrisi, volume darah, pemeliharaan, waktu, temperatur lingkungan, dan ketinggian tempat. Kalau ini padankan dengan pelehaman atau bahkan pemandulan fungsi dan peran, misalnya pekaseh, bendega, atau bendesa, dapat diduga konsentrasi kekuasaan, perkembangan zaman, situasi sosial-budaya, pertumbuhan ekonomi, pencabutan akar tradisi, suhu politik, dan arogansi sektoral sangat berpotensi berpengaruh. Semoga segala kebijakan dan kebajikan mendatangkan kerukunan dan keselarasan hidup di gumi Bali. *

Dewa Komang Tantra

Komentar