nusabali

MUTIARA WEDA: Melihat Wujud-Nya

Pasyāmi devāns tava deva dehe sarvāns tathā bhutavisesasanghān Brahmānamisam kamalāsanastha mrsins ca sarvān uragāns ca divyān. (Bhagavad-gita XI.15)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-melihat-wujud-nya

Wahai Krishna, Aku melihat seluruh deva-deva di dalam tubuh-Mu, dan berbagai makhluk ilahi; Brahma berstana di singgasana lotus, Siva dan seluruh para muni lainnya serta para pelayan kahyangan.

PERTANYAANNYA, jika seandainya saat ini ada Avatara sekaliber Krishna turun, dan kemudian ada orang yang beruntung mendapatkan anugerah seperti Arjuna di tengah medan perang nuklir, apakah penampakan dari wujud ke-Ilahi-an Sang Avatara itu sama dengan ke-Ilahi-an Krishna di atas? Jika jawabannya sama, maka berbagai wujud yang disebutkan di atas itu bersifat abadi. Tetapi, jika berbeda, tentu bentuk-bentuk yang dinarasikan sebagai wujud surgawi itu terus mengalami perkembangan. Artinya, pada zamannya Krishna, wujud surgawi itu seperti itu, dan tentu saat ini wujudnya akan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi saat ini. Pada masanya itu, senjata perang yang digunakan baik peperangan di kahyangan maupun di bumi agak mirip. Bahkan tidak sedikit para dewa berkontribusi banyak dalam pertempuran di bumi dengan ‘menghadiahkan’ senjata-senjata kahyangan kepada ksatria tertentu, seperti Brahmastra kepada Arjuna, Asvatama, dan beberapa yang lainnya.

Kalau mengacu pada hipotesa tersebut (yakni wujud ke-Ilahi-an mengalami perkembangan), maka dapat diambil sebuah asumsi (bukan kesimpulan) bahwa wujud ke-Ilahi-an Avatara tersebut berbeda. Oleh karena peperangan saat ini menggunakan nuklir, maka asumsi paling liar yang bisa ditampilkan adalah, ‘mungkin saja senjata di kahyangan tidak jauh berbeda dengan situasi saat ini’. Namun, dalam konteks keyakinan, asumsi seperti ini sama sekali tidak boleh diajukan, sebab kepemahaman sraddha masyarakat akan menjadi gamang, dan ini tidak boleh terjadi. Bagi para ‘believer’, apapun yang disampaikan oleh teks harus dijadikan dasar kebenaran. Landasan berpikirnya harus mengarah pada deskripsi teks dan sebisa mungkin tidak ada perdebatan. Menyangkut wujud dari Kemahakuasaan Sang Tertinggi, teks seperti di atas bisa dijadikan sebagai rujukan, dan diyakini kebenarannya.

Lalu, jika orang tetap bertanya, apa benar bentuknya seperti yang disampaikan di atas? Jawaban yang memungkinkan adalah seperti ini. Pertama, teks di atas tergolong wahyu karena Beliau sendiri yang menurunkan, dan wujud-Nya sendiri diceritakan oleh diri-Nya sendiri kepada Arjuna. Tentu apa yang disampaikan oleh teks tidak bisa dibantah kebenarannya. Artinya, apapun yang dideskripsikan oleh teks sepenuhnya benar. Kedua, kalau tidak percaya dengan pernyataan teks itu, maka silakan rasakan langsung atau boleh diuji kebenarannya melalui pengalaman. Tindakan apa yang harus dikerjakan sehingga mengalaminya langsung sebagaimana halnya Arjuna? Atas dasar ini ada berbagai bentuk dan itu bisa saja saling bertentangan. Pertama, (mungkin mengaku paling otoritatif) adalah dengan jalan bhakti yakni menjadi pelayan-Nya, sebab hanya dengan cara itu saja, anugerah Beliau akan diperoleh seperti halnya Arjuna mendapatkannya.

Kedua, ada sebuah paham yang menyatakan bahwa hanya dengan jalan kontemplasi terhadap eksistensi-Nya saja yang bisa, sebab hanya ketika orang telah menjadi seperti-Nya dia akan memperoleh anugerah seperti itu. Sementara ketiga, ada juga mengatakan bahwa hanya ketika energi seseorang sepenuhnya selaras dengan energi kosmik atau berada dalam keheningan tertinggi, orang akan memperoleh anugerah seperti itu. Keempat, bahkan ada yang menyatakan bahwa narasi seperti di atas adalah simbolik untuk kemajuan rohani seseorang. Narasi seperti di atas menurut paham ini tujuannya adalah untuk menggugah kesadaran orang, sementara dalam tataran yang lebih tinggi orang baru akan mengerti bahwa apapun yang dinarasikan tidak seperti itu. Makna simbolik ini hanya menuntun orang untuk melampaui batasan-batasan persepsi seseorang. Ada juga variasi cara lainnya, namun empat cara seperti di atas yang utama. Jika ditanya, yang mana dari keempat itu yang terbenar? Saat pertanyaan itu ditujukan kepada mereka yang telah berada dalam tradisi dari masing-masing, maka semua jalannya adalah yang terbenar dengan pembenarannya masing-masing, baik melalui konstruksi teks suci maupun dengan penalaran-penalaran. Namun, jika belum puas juga dan hati masih bertanya, maka penting untuk menyudahi pertanyaan dan mari kita lihat saja apa adanya. *

I Gede Suwantana   

Komentar