nusabali

MUTIARA WEDA: Teori Kematian

Yam-yam vāpi smaran bhāvam tyajaty ante kalevaram, Tam-tamevaiti kaunteya sadā tadbhāvabhāvitah. (Bhagavad-gita, VIII.6)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-teori-kematian

Apapun yang orang pikirkan pada saat menjelang ajalnya, kepada itu sajalah ia pergi, wahai Kaunteya, karena keberadaan dirinya senantiasa terserap ke dalam pikirannya itu.

Ini pernyataan menarik. Ini adalah inner science yang harus dijelaskan secara sistematis. Meskipun orang tidak mampu menjelaskan berdasarkan pengalamannya, sebab orang akan mengalami ini hanya ketika menjelang kematiannya, namun pernyataan ini bisa didekati secara rasional. Mari kita lihat dari beberapa argumentasi. Pertama, argumen ‘tutup buku vasana’. Pada saat di tepi kematian, rel karma berakhir. Tidak ada lagi perjalanan karma. Jadi, seluruh sancita karma, yakni karma vasana yang terbentuk sejak awal diciptakan (mungkin melewati ribuan bahkan jutaan kali kelahiran) ditambah dengan prarabdha karma (karma yang dilakukan sejak lahir sampai pada menjelang ajal) terkonsentrasi di sini. Dalam situasi seperti ini, semua jenis memori yang dibawa berkumpul menjadi satu karena alirannya telah terhenti disini, dan menunggu rel baru dalam kehidupan berikutnya. Jadi pikiran yang ada pada saat itu sangat dipengaruhi oleh poros vasana tersebut.

Kedua, argument ‘momentum pendulum karma’. Ibarat momentum sebuah pendulum. Ketika bola pendulum mengayun ke kanan, semakin jauh ayunannya dari sumbu ke kanan, semakin kecil daya dorongnya. Sehingga, ada pada satu titik daya tersebut habis. Saat daya ini habislah dalam perjalanan orang disebut dengan kematian. Namun, semakin jauh ayunan pendulum itu ke kanan, daya yang terkumpul untuk mengayun ke kiri semakin besar. Saat daya ke kanannya mencapai titik 0, maka momentum untuk memulai ayunan ke kiri mencapai titik tertinggi. Jadi, saat orang mencapai ajalnya, seluruh vasanas-nya memuncak disana, sehingga apapun yang dipikirkannya adalah kondisi dari sum total memori atau vasanas-nya itu dan kemudian menjadi momentum baru untuk mengayun pada kehidupan yang akan datang. Kelahiran yang berulang-ulang ini bisa diibaratkan dengan swing pendulum, selalu mengambil momentum untuk swing yang baru.

Ketiga, argument ‘platform karma’. Apa yang menjadi pikiran terakhir, maka ia akan pergi seperti yang dipikirkannya itu. Artinya, pikiran terakhir itu menjadi platform untuk memulai perjalanan karma dalam kehidupan kelak. Platform orang berbeda-beda sesuai dengan apa yang dipikirkannya terakhir. Ketika ajal orang memikirkan uang, maka uang adalah platform yang terbentuk dan platform inilah yang mendasari kehidupannya kelak. Sehingga, sejak kecil ia selalu tertarik dan tergila-gila dengan uang, dan ia akan melakukan apapun untuk mendapatkannya. Demikian juga dengan jenis platform yang lainnya. Kecenderungan orang yang berbeda-beda sejak lahir terjadi oleh karena mereka telah membawa dan menjalani platform kehidupan yang terbentuk saat menjelang kematiannya. Orang yang mengerti ini dalam kehidupannya dan menjalaninya akan menikmati kesuksesan karena ‘keberadaan’ dirinya mendukung.

Keempat, argument ‘amalgamasi’. Tentu teks di atas secara implisit memiliki kandungan makna ‘negasi’. Artinya, saat teks menyebut “apapun yang orang pikirkan saat ajal akan menuju kesana” itu sendiri mengandung nilai negasi, yakni ada satu masa pikiran tidak lagi memikirkan apa-apa. Sehingga logika paralelnya begini, jika teks seperti di atas sebagai proposisi I, yakni “apapun yang orang pikirkan saat ajal akan menuju kesana, maka negasi dari pernyataan tersebut menjadi proposisi II, yakni “jika saat ajal orang tidak memikirkan apa-apa, maka ia tidak akan pergi kemana-mana”. Apa maksudnya tidak kemana-mana?

Ia akan ada disini, manunggal dengan Keberadaan Sejati. Ketika orang tidak memikirkan apa-apa saat ajalnya, itu artinya, ia tidak lagi kemana-mana, oleh karena platform baru tidak terbentuk, momentum baru tidak lagi ada. Dalam sloka berikutnya, Krishna ingin menggambarkan ini, yakni jika seseorang mampu memikirkan-Nya saat ajal tiba, maka orang itu akan menuju-Nya, tidak akan ke tempat lainnya. Dari keempat argument tersebut, tiga awal adalah teori punarbhawa, sementara yang terakhir adalah teori moksa. Sehingga dengan demikian, Teori kematian itu mengandung dua poros, yakni punarbhava dan moksa. *

I Gede Suwantana

Komentar