nusabali

Pengusaha Buka Suara soal Dugaan Kartel di Balik Tingginya Harga Minyak Goreng

  • www.nusabali.com-pengusaha-buka-suara-soal-dugaan-kartel-di-balik-tingginya-harga-minyak-goreng

JAKARTA, NusaBali
Tingginya harga minyak goreng masih menjadi polemik. Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan telah melihat sinyal adanya praktik kartel pada harga minyak goreng.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo membantah adanya praktik kartel atau kesepakatan harga pada minyak goreng yang dilakukan industri dalam negeri.

“Tidak benar jika perusahaan (minyak goreng-CPO) dalam negeri yang mengatur harga. Harga CPO itu dipengaruhi harga global, tidak bisa dalam negeri mengatur,” kata Bernard kepada detikcom, Jumat (21/1/2022).

Dia menjelaskan, tingginya harga minyak goreng dipengaruhi oleh sumber bahan bakunya yakni CPO (crude palm oil) yang banyak dipengaruhi oleh dunia. Apalagi produk CPO dan turunannya masih untuk ekspor.

“Minyak goreng sumber bahan baku adalah CPO. CPO adalah komoditas yang harganya dipengaruhi dari luar negeri, karena mayoritas produk sawit dan turunan masih ekspor. Kedua, harga CPO juga dipengaruhi faktor dari harga minyak nabati lainnya di dunia,” jelas Bernard.

Dia mengatakan lebih dari 60 persen produk sawit untuk ekspor itu termasuk CPO yang diproses menjadi minyak goreng, functional fats, biodiesel, oleochemical, dan lain sebagainya.

Sebagai informasi, sebelumnya KPPU mengungkap adanya sinyal praktik kartel pada kenaikan harga minyak goreng. Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan dugaan itu didorong kompaknya produsen minyak goreng menaikkan harga dengan alasan CPO internasional tengah tinggi.

“Sinyal kartel ini terbaca, terbukti dengan kompaknya (produsen CPO dan minyak goreng) yang menaikkan harga minyak goreng. Padahal biaya produksi kelapa sawit tidak ada kenaikan,” kata Komisioner KPPU Ukay Karyadi dalam forum jurnalis secara daring, Kamis (20/1/2022).

Selain itu, dugaan kartel ini disebut berkaitan dengan terintegrasinya produsen CPO yang juga memiliki pabrik minyak goreng. Menurutnya jika CPO-nya milik sendiri, harga minyak goreng tidak naik secara bersama-sama.

“Tadi sudah dijelaskan produsen CPO mana yang tidak memiliki pabrik minyak goreng, mereka kan awalnya produsen CPO. Masing-masing memiliki kebun kelapa sawit sendiri, supply ke pabrik minyak gorengnya, perilaku ini dimaknai dugaan sinyal kartel karena kompak menaikkan harga walaupun mereka punya kebun sendiri,” jelas Ukay.

Perilaku dugaan kartel ini didorong karena sebaran industri CPO maupun pabrik minyak goreng di Indonesia yang tidak merata. Hal ini disebut industri oligopoli, yang sebaran industrinya sedikit tetapi pangsa pasarnya sangat luas.

“Jadi, jika mereka (industri minyak goreng) menaikkan harga di pasar tradisional maupun ritel modern, masyarakat mau tidak mau membelinya,” tuturnya.

Meski demikian, perilaku kartel yang diduga dilakukan oleh pengusaha CPO sekaligus pemilik pabrik minyak goreng masih harus dibuktikan secara hukum. KPPU akan terus memantau fluktuasi harga minyak goreng ini.

Dalam kesempatan yang sama Direktur Ekonomi (KPPU) Mulyawan Renamanggala menyatakan sebaran pabrik minyak goreng masih terkonsentrasi di Indonesia bagian barat. Paling banyak di Kepulauan Jawa, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

“Di luar Jawa paling banyak di Sumatera Utara ada 14 pabrik. Sedangkan pabrik minyak goreng di wilayah seperti Riau dan Jambi yang menjadi salah satu produsen CPO dan perkebunan sawit yang luas, di situ tidak ada pabrik minyak goreng,” ucap Mulyawan.

Masalah lain selain dugaan praktik kartel, yakni produsen CPO yang cenderung mementingkan ekspor karena harga yang sedang tinggi. Hal itu diungkapkan Mulyawan untuk menyanggah adanya pernyataan bahwa saat CPO internasional tinggi, produsen dalam negeri mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku.

“Ini juga kami melihat sedikit aneh, produsen minyak goreng ini sebenarnya masih satu klub perusahaan yang memiliki perkebunan kelapa sawit, sehingga pengusaha di sini cenderung mengutamakan ekspor, saat harga CPO internasional sedang bagus seperti saat ini. Karena itu dapat meningkatkan keuntungan mereka,” tutur Mulyawan. *

Komentar