nusabali

MUTIARA WEDA: Jika Segalanya Siva?

Drsyam Sariram (Siva Sutra, 1.14)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-jika-segalanya-siva

Semua fenomena objektif baik di luar maupun di dalam adalah seperti tubuh-Nya sendiri.

SEGALA-GALANYA adalah Siva, baik kesadaran subjektif maupun dunia objektif. Tidak ada sesuatu yang bukan bagian-Nya. Alam semesta ini bukanlah apa-apa, melainkan zat yang memanifestasi dari svabhava-Nya. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini hadir dari I-consciousness Dirinya Sendiri (Sakti). Dalam prinsip paramartika, tidak ada perbedaan antara Siva dan Sakti. Segala-galanya adalah Siva, dan Sakti adalah aspek aktif-Nya. Sehingga dengan demikian, baik Sang Sadar maupun benda-benda alam semesta adalah Beliau sendiri.

Jika teks di atas diaplikasikan ke dalam tubuh kita, maka dapat dikatakan baik Sang Jiva yang sadar maupun tubuh fisik ini secara prinsip adalah Siva itu sendiri. Tidakkah ini kemudian menjadi gamang? Maksudnya? Jika semuanya adalah Siva, maka dia yang berbuat baik maupun yang jahat juga adalah Siva. Tidakkah demikian? Jika demikian, apa pentingnya kita berusaha menjadi baik jika memang berbuat jahat pun tetap Siva? Taruhlah itu dalam satu kasus yang lagi hits di dunia maya tentang ciuman di depan umum. Siapa yang ciuman itu? Tentu adalah Siva. Lalu, siapa yang menyalahkan dan bahkan menghujatnya? Mereka juga Siva. Baik yang dihujat maupun yang menghujat adalah sama-sama Siva. Oleh karena sama-sama Siva, maka mereka secara prinsip tidak berbeda. Oleh karena sama, makanya mereka secara bersama-sama mengalir bersama waktu dan nantinya akan ditelan ke dalamnya. Ini kebenaran sejatinya. Namun, di sisi lain, fenomena moralnya menarik untuk disimak.

Pertama, ada yang berpendapat bahwa secara prinsip semuanya adalah Siva. Secara moral kita salah menghujat orang lain oleh karena situasinya. Kalau kita menghujat orang lain, itu sama artinya menghujat diri sendiri. Mengapa? Karena orang itu secara prinsip sama dengan kita, yakni Siva itu sendiri. Jika situasi yang dibuat oleh orang itu tidak sesuai dengan prosedur yang telah disepakati, maka lebih baik perbaiki situasinya tersebut tanpa harus menghujat orangnya. Dan, untuk itu semua sudah ada yang lebih berwenang menangani, meluruskan situasi yang sempat bengkok tersebut.

Kedua, ada yang berpendapat bahwa itu adalah tindakan tidak terpuji, dan oleh karenanya tindakan itu bisa saja dicela atau dicaci-maki. Yang menyalahi prosedur adalah orang yang melakukan kesalahan itu sehingga orang itulah yang layak untuk dicaci. Di sini, mereka kemudian menjadi polisi moral. Apa pembenarnya? Toh juga semua Siva. Tidak masalah mencaci-maki mereka yang salah. Yang mencaci-maki juga Siva. Kesalahan memang layak untuk dikucilkan.

Ketiga, ada juga yang berpandangan bahwa orang yang melakukan tindakan tidak terpuji harus diberi pelajaran. Pelajaran yang paling memungkinkan adalah bagaimana orang itu dibuat malu. Dengan mempertontonkannya di depan umum, dia akan jera dan tidak akan melakukan perbuatannya lagi. Ini juga akan menimbulkan efek jera bagi yang lainnya. Jadi, mereka akan secara sengaja mempublikasikan orang yang dianggap melenceng sebagai bentuk hukuman dan pelajaran bagi yang lain agar tidak berbuat seperti itu lagi. Di sini eksistensi diri sebagai Siva bukan alasan pokok, tetapi situasinya yang dipentingkan, tetapi hukumannya tetap menyentuh eksistensi orang itu.

Keempat, ada orang yang berpandangan bahwa setiap orang telah membawa karmanya masing-masing. Dia merasa bahwa orang mestinya dibiarkan berurusan dengan karmanya sendiri-sendiri. Jika kita ikut campur dengan karma orang lain, itu berarti diri kita sendiri membangun karma baru melalui kesalahan orang. Kesalahan orang menjadi pemantik untuk melahirkan karma baru. Jika kita menghujat, dan tindakan ini salah, tentu karma yang kita bangun adalah karma buruk. Oleh karena itu, bagi mereka yang punya pandangan ini berpendapat bahwa biarkan orang dengan karmanya masing-masing dan diri kita mesti sibuk dengan karma sendiri. Intinya tidak perlu ngurusi masalah orang lain, sebab masalah itu bisa berbalik mempermasalahkan kita.

Demikian, kira-kira beberapa cara pandang yang berbeda-beda terhadap masalah yang sama. Namun, apapun itu, secara prinsip kita adalah Siva. Secara eksistensi, siapa pun mereka tetap sama. *

I Gede Suwantana

Komentar