nusabali

Modernisasi Ancam Kakhasan Sikut Satak

  • www.nusabali.com-modernisasi-ancam-kakhasan-sikut-satak

BANGLI, NusaBali
MODERNISASI zaman berpiranti teknologi canggih memang jadi idaman masyarakat. Namun, tatkala kemajuan mengoyak nilai-nilai tradisi, maka buahnya adalah kekhawatiran.

Kondisi itu sedang dirasakan sejumlah tetua di Desa Adat Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Bangli. Salah satu yang paling dikhawatiri yakni ancaman akan kelunturan fisik sikut satak (struktur area pekarangan rumah adat). Karena modernitas makin merasuki hingga ke tatanan fisik perkampungan yang tiada duanya di dunia ini. Bahkan para tetua setempat meyakini, perubahan fisik/palemahan adat itu, terutama struktur bangunan akan bermuara pada perubahan sikap mental masyarakat. Bentuknya, antara lain, bisa pelunturan nilai-nilai sosial yang telah terjaga apik sejak zaman dulu. Konsep kehidupan sosial berupa sagilik-saguluk salunglung sabayantaka, paras-paros sarpanaya, saling asah, asih, asuh (setia bersatu-padu, saling menghargai dan saling mengingatkan, saling menyayangi, tolong-menolong), hanya akan menjadi frase kuno.

Jero KubayanMucuk, Desa Adat Panglipuran, I Wayan Moneng,74, salah seorang tetua Panglipuran yang terdera oleh kekhawatiran itu. Menurutnya, mempertahankan rumah tradisional khas Penglipuran, bukan hal gampang. Seiring itu, kamajuan zaman yang ditandai dengan pendidikan generasi muda yang makin maju, pasti akan membawa pengaruh besar kepada desa. ‘’kami khawatir, karena merasa sudah pintar-pintar, maka tradisi dan kenyamanan hidup di desa akan berubah. Tapi kami di sini, terus membina sekaa teruna-teruni, agar mau mempertahankan tradisi dan adat ini,’’ ujarnya.

Menurutnya, rumah adat Panglipuran tak luput dari modernisasi, karena dibangun layaknya seperti rumah orang Bali kekinian, dan makin modern. Celakanya, jika rumah yang dibangun tak serupa dengan warna kayu atau warna tanah,  sebagai mana warna khas rumah tradisional Penglipuran.

Bangunan modern di Karang Kerti yang auranya tak seperti khas Penglipuran, jelas Jero Kubayan, kini banyak terdapat di depan sebelah kanan pintu pekarangan, bagi Karang Kerti di timur jalan. Bangunan yang sama (rumah modern) juga ada di sebelah kanan karang yang sama, di barat jalan. Posisi areal itu, sebelum dibanguni rumah modern, adalah lahan kebun keluarga. Di lahan kecil ini, krama menanam sayur-sayuran dan sedikit bumbu dapur, bahkan bahan obat-obatan tradisional. ‘’Bangunan modern ini ada tentu seiring dengan penambahan anggota keluarga yang memerlukan tambahan kamar tidur,’’ ujarnya.

Berdasarkan tatanan tradisi yang ada, jelas Jero Kebayan, bangunan tradisional di Karang Kerti yang pokok terdiri dari sanggah/mrajan, Bale di sisi kiri Sanggah untuk tempat upacara agama dan adat, dan paon/dapur di bagian depan sanggah. Bangunan berkamar hanya ada di Paon, sedangkan Bale tanpa ada kamar, meski tetap berisi dipan yang kakinya menyatu dengan saka atau tiang bangunan. Bangunan lain, yakni Angkul-angkul (pintu keluar - masuk), selama ini masih semua bertahan, rapi, dan khas tradisional Penglipuran. Khasnya, ukuran, model, dan bahan-bahan, terutama atap masih sama dari sirap (pecahan-pecahan) bambu. Begitu juga Paon dan Bale Dagin, masih khas Penglipuran, berdinding dan beratap sirap bambu. Jero menyebut, agar dapat terus mempertahankan bangunan adat ini, desa adat memberikan subsidi Rp 5 juta kepada setiap krama saat merehab bangunan memakai atap sirap. Subsidi yang sama juga diberikan kepada krama yang mengganti atap bangunan dari genteng ke sirap.

Ayah dua anak ini menerangkan, krama adat Penglipuran masih banyak yang tinggal di luar Karang Kerti, yakni tegalan/kebun, masih milik desa adat atau wewidangan Penglipuran. ‘’Di kebun, krama hanya membuat rumah tinggal dan berisi Sanggah Pangayengan, dan sanggah/mrajan utama tetap di karang pokok, tanah Karang Kerti,’’ ujar mantan Lurah Kubu yang pensiun tahun 2005 ini.

Jero tentu wajar khawatir. Karena rumah tradisional khas Penglipuran adalah salah satu model produk budaya nusantara, dan Bali khususnya, tak ada dua di dunia. Tak kalah khawatir, jika rumah tradisional ini benar-benar lenyap, maka Desa Wisata Penglipuran akan hanya tinggal nama.

Jero mengisahkan, para pelancong asing dan domestik datang ke desa ini sejak tahun 1990, karena tertegun dengan rumah adat. Hingga akhirnya, Gubernur Bali era itu menerbitkan SK Desa Wisata untuk Desa Adat Penglipuran tahun 1992.‘’Saat itu, tiang jadi Lurah Kubu (mewilayahi Pengelipuran,Red),’’ kenangnya.

Jelas Jero, sebutan desa wisata dan terbukti dikerubuti banyak turis, adalah bonus bagi Penglipuran. Sejatinya, pada awalnya Penglipuran bukan desa wisata, namun hanya kawasan konservasi budaya berupa rumah adat dan sumber daya hayati, terutama hutan bambu. Lanjut, Bupati Bangli dan Gubernur Bali saat itu, menawari Penglipuran sebagai desa wisata. Karena akan jadi desa wisata, maka jalan Desa Penglipuran akan diaspal oleh pemerintah. Namun Jero dan para prajuru desa menolak. Karena jika diaspal, jalan pasti akan dimasuki truk material yang berat-berat. Maka prajuru menyepakati pemasangan paving untuk mempercantik wilayah desa. Jalan berpaving ini hanya di depan 76 angkul-angkul Karang Kerti. *lsa

Komentar