nusabali

Manyama Braya Nyata di Penglipuran

  • www.nusabali.com-manyama-braya-nyata-di-penglipuran

Pola manyamabraya bersama pisaga (tetangga) pengapit ini terjaga sangat baik di sini. Karena hidup dan mati krama di sini bersama-sama dirasakan oleh pisaga.

BANGLI, NusaBali

Praktik nyata panyamabrayaan (persaudaraan antar sesama) orang Bali umumnya, telah lama terkoyak. Penyebabnya sangat dinamis. Mulai dari kemajuan zaman berdandan teknologi dan informasi yang makin canggih hingga kejayaan ekonomi antar personal. Buahnya bisa individualistis (mengutamakan diri sendiri), meterialis (pemuja segala berukuran ekonomi/uang), hingga ego nirkontrol atau tanpa awas. Konsep anti sosial mati iba idup kai (mati kamu, hidup saya) makin nyata.

Berbeda dengan krama Bali di Desa Adat Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Bangli. Di kampung berangin jernih nan sejuk ini, kemajuan zaman juga ‘melezat’ rapi. Tapi perikehidupan manyamabraya krama di sini tetap nyata adanya. Tak ada basa-basi, tanpa teori sosiologi terkini, namun persudaraan terjaga otentik, sebagaimana sikap sahaja tetua zaman iloe (dulu).

Desa ini menjaga ketat keutuhan dan kesederajatan antar krama, ditandai dengan keberadaan bukti-bukti artefak desa adat. Oleh kebanyakan orang yang tumben bertandang ke desa ini, pasti takjub menyaksikan jejeran angkul-angkul (pintu keluar-masuk setiap pekarangan warga). Bentuk, model, dan gaya pintu pekarangan ini sama, tak terkecuali krama kaya atau miskin, prajuru adat atau bukan, dan pembedaan lainnya. Ada sekitar 76 angkul-angkul atau song yang di belakangnya terhampar lahan Karang Kerti, milik desa adat. Lahan ini terbagi menjadi pekarangan untuk sanggah/mrajan, hunian di bagian depan dan teba di halaman belakang. Setiap song atau angkul-angkul tembus ke jalan raya desa di belakang setiap pekarangan. Jumlah areal Karang Kerti hampir sama tiap KK, di bagian depan lebar antara 8 – 9 meter, dan memanjag ke belakang.

Tak cukup itu, praktik sosial kemanusiaan juga dirawat utuh oleh antar krama pisaga (tetangga). Di setiap tengah-tengah karang hunian antar KK krama dalam Karang Kerti tersambung dengan pintu. Pintu ini di Bali umumnya, dikenal dengan nama langkan-langkan pisaga (pintu menuju dan dari pekarangan tetangga). Dengan pintu ini, tiap KK krama jika minta tolong ke krama tetangga, tak perlu melalui atau keluar ke jalan umum, depan rumah. Cukup lewat langkan-langkan tersebut.

Bukti fisik yang khas untuk menjaga persaudaraan krama di Penglipuran, yakni setiap krama yang lebih dulu membangun di bagian hulu pekarangan sendiri, bagian atap bangunannya boleh lewat dari garis pekarangan hingga ke pekarangan tetangga. Kebiasaan dan toleransi bangunan ngaliwatin karang pendidi (melampaui batas pekarangan sendiri) seperti ini, tentu tak lagi ada di pekarangan-pekarangan krama Bali umumnya kini.  

Jero KubayanMucuk, Desa Adat Pangelipran, I Wayan Moneng,74, mengatakan tata pelemahan berupa pekarangan sikut satak, model angkul-angkul, keberadaan pintu antar pekarangan, atap bangunan yang boleh melewati pekarangan ke tetangga, dan lainnya, sudah diatur dalam awig-awig desa adat. Karena, poin inti pengaturan dalam awig-awig ini karena 76 pintu Karang Kerti yang ditempati krama adalah milik desa adat. ‘’Krama ini hanya punya hak pakai pada tanah Karang Kerti, bukan hak menguasai. Artinya, pamakaiannya desa adat yang mengatur, dan tanah karang ini tak boleh dijualn,’’ jelas mantan Lurah Kubu, Kecamatan Bangli, tahun 1987- 1992 ini, beberapa waktu lalu.

Jero Kubayanmenyebut, ketulusan manyamabraya kental terawat di Penglipuran, dapat dibuktikan saat salah satu KK krama menggelar upacara, misal perkawinan. Bagaimana pun kayanya krama tersebut, punya rumah mewah di lain tempat, dan  berupacara besar, maka wajib digelar di Karang Kerti. Karena Karang Kerti adalah karang pokok,

lengkap dengan rumah tradisional, dan ada sanggah/mrajan. Jika upacara cukup besar, ditandai banyak undangan baik adat dan non adat, maka si pemilik upacara boleh meminjam tempat ke tetangga pengapit atau bersebelahan. Krama tetangga wajib menyediakan tempat untuk kelancaran upacara itu. Tetangga dimaksud, baik di sebelah kiri atau di kanan. ‘’Pola manyamabraya bersama pisaga (tetangga) pengapit ini terjaga sangat baik di sini. Karena hidup dan mati krama di sini bersama-sama dirasakan oleh pisaga,’’ jelasnya.

Wewidangan Desa Adat Penglipuran dengan uas 112 hektare (ha), terdiri dari kebun bambu 45 ha, tanah Karang Kerti 9 ha, sisanya hutan-hutan kecil. Wewidangan ini, sebagaimana desa adat di Bali umumya, terbagai tiga (Tri Mandala) yakni Utama Mandala berupa pura, Madya Mandala berupa pemukiman, dan Nista Mandala berupa kuburan/setra desa adat. *Lsa

Komentar