nusabali

Cuaca Buruk, Petani Garam di Klungkung Meringis

  • www.nusabali.com-cuaca-buruk-petani-garam-di-klungkung-meringis

SEMARAPURA, NusaBali.com - Intensitas hujan tinggi tidak hanya menyebabkan terjadinya berbagai bencana alam. Dampak buruk juga dialami petani garam tradisional di Banjar Belatung, Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.

Betapa tidak, para petani garam tradisional sangat memerlukan panas dari cahaya matahari  untuk proses pengeringan serta pengkristalan garam.

Sedangkan pada saat musim penghujan seperti saat ini intensitas cahaya matahari menurun karena tertutup awan mendung yang membawa hujan.

"Sudah satu minggu terakhir saya tidak bisa bekerja karena hujan," ujar Ni Wayan Putri salah satu petani garam tradisional di Desa Pesinggahan,  Rabu (15/12/2021).

Selain menghambat proses pengkristalan garam, hujan juga dapat membuat produksi garam menjadi kotor dan kualitas garam menjadi menurun.

"Garam yang dijemur ditutup menggunakan danyuh (daun kelapa kering). Kalau diguyur hujan otomatis danyuhnya rontok dan mengotori garam, garam yang sering diguyur hujan biasanya saya jual khusus untuk keperluan kecantikan saja bukan untuk konsumsi," ungkap Wayan Putri.

Berdasarkan pengalamannya menjadi petani garam dari tahun 1980, Wayan Putri telah mengantisipasi musim penghujan dengan menimbun stok garam sebagai ketersediaan pada saat cuaca buruk.

"Walaupun cuaca buruk kami di sini punya stok lumayan banyak, sekitar 500 kg ada," ucap Wayan Putri.

Tidak hanya hujan yang membuat hati para petani garam resah, pandemi Covid-19 yang telah melanda hampir dua tahun juga turut menurunkan permintaan terhadap garam tradisional.

Sektor pariwisata di Bali yang tak kunjung pulih mempengaruhi pembelian garam yang biasa dipesan oleh restoran, hotel dan jasa spa.

"Penurunan omzet 50 persen lebih. Biasanya ada saja yang membeli 5 sampai  6 kilogram. Tapi sekarang satu hari pun tidak karuan ada yang beli," keluh Wayan Putri.

Wayan Putri menjual garamnya dengan harga yang sangat terjangkau yakni seharga Rp 20.000 per kilogram untuk garam konsumsi kualitas super. Dan Rp 15.500 per kilogram untuk garam kualitas di bawahnya yang biasa digunakan sebagai keperluan kecantikan.

Sementara itu Ketut Santa, suaminya,  yang juga seorang petani garam tradisional menjelaskan proses pembuatan garam tradisional.

Diawali dengan proses penyiraman menggunakan air pantai di lahan pasir yang telah disediakan. Lalu dijemur di bawah terik matahari, dan pasir yang sudah dijemur diambil sedalam 1,5 cm kemudian diletakkan dalam sebuah bak (penyosoran).

Setelah itu pasir yang telah terkumpul disiram sebanyak dua kali menggunakan air laut yang telah disuling, dan air hasil sulingan dijemur kembali di atas kayu kelapa yang telah dimodifikasi (palungan) hingga mengkristal dan menjadi garam.

"Pekerjaan ini berat dan dari segi ekonomi tidak seberapa," jelasnya.

Ketut Santa berharap dengan adanya dukungan dari pemerintah berupa terbitnya Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan Garam Tradisional Lokal Bali beberapa waktu lalu menjadi angin segar untuk meningkatkan penjualan yang selama ini sedang mengalami penurunan.

"Kami para petani garam mengetahui terkait SE tersebut dan berharap agar garam tradisional produksi kami bisa bersaing di pasar tradisional dan mendapat branding sehingga dapat mengangkat nilai jual dari garam tradisional yang pembuatannya sangat menguras tenaga," harapnya. *rma


Komentar