nusabali

Dibandingkan Dulu, Taksu Seni Kini Lemah

Timbang Rasa FSBJ III 2021 Bertema 'Taksu Seni Tari Kini'

  • www.nusabali.com-dibandingkan-dulu-taksu-seni-kini-lemah

Di Bali, seni kontemporer memerlukan akar seni tradisi dan seni tradisi memerlukan seni kontemporer sebagai sarana pembaharuan dan tetap eksis.

DENPASAR, NusaBali

Seni terus berkembang, serupa kehidupan yang terus mengalami perubahan. Kesenian Bali yang adiluhung terkenal karena spirit taksunya, juga terus mengalami pengembangan-pengembangan. Namun, bagaimana kondisi taksi seni tari di masa kini?  Pertanyaan ini justru menjadi tema Timbang Rasa (Sarasehan) serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) III Tahun 2021.

Mengambil tema ‘Taksu Seni Tari Kini (Lintas Kreativitas dan Otentisitas)’, timbang rasa FSBJ III Tahun yang digelar di Taman Budaya Provinsi Bali, Kamis (4/11) menghadirkan narasumber budayawan Prof Dr I Wayan Dibia SST MA dan Dr Nungky Kusumawati SSn MSi, dipandu oleh moderator Ida Ayu Frischa Mahayani. Keduanya membahas keberadaan seni kontemporer khususnya bagian tari.

Pembicara Prof Dibia melihat, belakangan ada kecenderungan taksu di masa kini kalah kuat dibanding taksu dulu. Di Bali, seni kontemporer memerlukan akar seni tradisi dan seni tradisi memerlukan seni kontemporer sebagai sarana pembaharuan dan tetap eksis. Dia mengungkapkan bahwa apa yang kita capai sekarang adalah sesuatu penciptaan dan pengembangan yang mengalami proses sangat panjang.

Prof Dibia menjelaskan perjalanan seni yang selalu menawarkan hal-hal baru. Seni kekebyaran pada tahun 1915 misalnya, menawarkan hal baru music dengan tekanan berat di awal. Sedangkan pada tahun 1930, muncul pertunjukan Kecak Ramayana “Monkey Dance” yang mulai mengenal tari kera. Kecak Rina pada 1970 kemudian muncul sebagai sebuah pendekatan baru terhadap kecak. Serta masih banyak perkembangan-perkembangan lainnya.

Sementara menurut pengamatannya saat ini, menurut Prof Dibia, proses kreatif seni seperti kurang eksplorasi dilihat dari penggarapan yang tergesa-gesa dan kurang pengendapan. Juga terlalu fokus ke unsur-unsur visual dan wujud luar dengan proses satu bidang. Di sisi otentisitas karya, masih banyak peniruan atau ‘daur ulang’ ide-ide yang sudah usang dan kurang menampakan identitas pribadi atau budaya. “Sehingga raihan taksu-nya masih lemah akibat kurangnya kontemplasi diri dari kreator dan pelaku. Kurangnya olah rasa dan penjiwaan, serta tipisnya olah spiritual (dalam arti luas),” ujarnya.

Prof Dibia berharap seni bisa berkembang lebih baik dari sekarang. Dengan adanya ruang FSBJ, dia berharap agar dimanfaatkan dengan baik dengan formulasi yang jelas antara ke-Bali-an dan kekinian. “Para seniman, lembaga-lembaga dan para pihak terkait perlu bersinergi dan berkolaborasi menciptakan iklim kreativitas yang sehat dan kondusif sehingga merangsang para kreator tari melahirkan karya-karya seni Bali masa kini yang berkualitas,” kata budayawan asal Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar ini.

Sementara, pembicara Dr Nungky Kusumawati mengatakan, tari kontemporer di Indonesia dipahami sebagai karya tari yang diciptakan pada masa kini dengan pendekatan atau konsep penggarapan yang tidak mau lagi terikat pada kebiasaan dan kekhasan apapun, juga tidak terpaku pada penggunaan tradisi tertentu serta tidak terbelenggu garapan-garapan sebelumnya. Artinya, karya tari kontemporer selalu aktual dan konsep penggarapannya bertitik tolak dari cita rasa, minat, dan tren zamannya.

“Di sisi lain, dalam memahami konteks perkembangan tari di Indonesia, kebaruan koreografi tari kontemporer tidak menolak tradisi atau yang bersifat tradisional. Karena sesungguhnya tradisi dapat digarap dengan cara baru dan ditafsirkan secara lain atau diramu dengan berbagai materi lain. Sedangkan Bali adalah ruang wilayah yang bisa mempertahankan tradisinya sampai kini,” terang dr Nungky. *ind

Komentar