nusabali

Gaungkan Genggong Menembus Luar Negeri

Nyoman Suwida, Seniman Genggong asal Batuan, Gianyar

  • www.nusabali.com-gaungkan-genggong-menembus-luar-negeri

GIANYAR, NusaBali
I Nyoman Suwida, salah seorang seniman karawitan asal Banjar Pekandelan, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Dia berjuang dalam pelestarian alat musik tradisional Genggong.

Bahkan dia getol meregenerasi pemusik Genggong dari kaum tua kepada kalangan remaja dan anak-anak. Kegetolan Suwida sangat mendasar. Jika tidak sekarang, maka khawatir dalam 10 - 15 tahun ke depan, instrumen musik dengan suara mirip katak atau godogan ini, akan punah. "Saya sudah keliling di Karangasem dan Buleleng, yang saya tahu disana dulu berkembang pula Genggong ini. Nyatanya sudah sangat sedikit yang memainkan, bahkan di daerah Anturan, Buleleng, sudah tidak ditemukan lagi alat ini maupun pemainnya," ungkap Nyoman Suwida saat ditemui, Sabtu (16/10).

Berkaca dari pengalaman tersebut, Suwida ingin Genggong Batuan tetap eksis. Dia membentuk Komunitas Genggong 8 (kutus). Dengan harapan, Genggong di Batuan tetap eksis. "Seperti angka 8 yang tak pernah putus, saya harap Genggong di Batuan juga demikian," jelasnya.

Komunitas ini resmi berdiri sejak tahun 2016. Sudah cukup sering diminta sebagai pengisi acara konferensi internasional, festival-festival hingga acara resepsi pernikahan. Suwida mengkolaborasikan alat musik tradisional ini dengan alat musik perkusi, suling, kendang, dan ceng-ceng.

Saat ini, Suwida memiliki sekitar 25 anak didik. Masing-masing dihadiahi satu buah alat musik Genggong. Baginya, sebuah alat dan transfer teknik pemakaian alat musik ini adalah investasi masa depan. Sebab, dirinya yakin Genggong ini punya ciri khas yang membuat orang yang mendengarkannya tertarik. Apalagi didengarkan oleh mereka pecinta seni karawitan. "Orang asing sangat mengapresiasi Genggong. Jadi saya ingin Genggong ini tetap lestari," jelasnya.

Penggunaan alat musik ini, kata Suwida, pernah eksis era tahun 1990an. Ketika itu, Suwida sering ikut sanggar tempatnya berlatih menari dan menabuh untuk pentas Drama Tari Arja Godogan dari hotel ke hotel. "Seminggu bisa 4 kali pentas. Kadang satu malam itu, bisa pentas di dua hotel berbeda," kenangnya.

Namun pasca Bom Bali I, Bom Bali II dan kini berhadapan dengan pandemi Covid-19, eksistensi Genggong turut terdampak. "Setelah Bom Bali, masih ada sedikit geliat. Tapi selama pandemi ini, benar-benar tidak ada pementasan ke hotel," ujarnya.

Untuk mengisi waktu, Suwida aktif mengikuti lomba. Salah satunya Lomba Musik Tradisional Nusantara yang digelar oleh Yayasan Arthropoda Shanti Yogyakarta. "Sayangnya hanya masuk 25 besar, ada kriteria yang kurang kita penuhi yakni vokalis," jelasnya.

Agar tetap berkarya, Suwida juga sering membuat live streaming permainan musik Genggong di akun medsos. Suwida juga kerap ikut partisipasi event-event kesenian. Pada 10 Oktober 2021, dia berpartisipasi dalam event Bali Purnati. Dalam event ini ada pameran lukisan Baturulangun, Desa Batuan, dan rekaman sanggar Gambuh Batuan. Tahun lalu, di Ubud Writer Festival sebagai pengisi acara dan sengaja waktu itu ambil momen untuk rekaman. ‘’Saya dapat kabar, videonya sudah tayang di Perth Australia. Luar biasa apresiasinya. Rencana 29 Oktober ini, pembukaan Ubud Jazz Festival di Museum Arma," terangnya.

Di Desa Batuan sendiri, kata Suwida, terdapat sekitar 5 kelompok seni yang memiliki sekaa Genggong. Kelompok seni itu masih aktif sampai saat ini, hanya saja tiarap karena berhadapan dengan pandemi. Nyoman Suwida sendiri berkenalan dengan Genggong karena tumbuh di lingkungan seni. Bermula dari belajar menari, menabuh dan meniup suling. Genggong zaman dulu, sangat sulit dipelajari. Sebab para tetuanya bingung bagaimana cara mengajarkan kepada penerusnya. Dia mengaku pertama kali pegang alat musik ini karena sekaa Genggongnya kurang personel. Agar tetap tampil maksimal, dia diminta pegang saja alat ini meskipun tak bunyi. Sejak saat itu, Suwida semakin penasaran. Bagaimana tetuanya bisa begitu asik memainkan genggong hingga keluar melodi. "Akhirnya dari rasa penasaran itu saya terus belajar," jelasnya.

Kata Suwida, genggong memiliki 5 nada slendro. Ndong, Ndang, Nding, Ndung, Ndeng. Seperti bilah bambu pada gamelan, kerongkongan memiliki peran penting sebagai resonator. "Saya paham teknik ini saat mengajari seorang turis. Saya main suling, turisnya Genggong. Setelah ditemukan satu nada, misalnya Ndeng, saya minta dia mencoba lagi," jelas seniman yang pernah membawa Genggong dalam sebuah festival di Amsterdam Belanda ini. Di awal belajar Genggong, katanya, memang sulit. Namun begitu menguasai akan sangat mudah.

Sementara itu, dibukanya pariwisata internasional pasca pandemi, menurut Suwida, adalah angin segar. Pihaknya sangat berharap, situasi bisa kembali normal. "Mudah-mudahan pariwisata Bali cepat pulih," harapnya. Suwida juga berharap, sesekali Genggong diikutsertakan dalam perhelatan Pesta Kesenian Bali.*nvi

Komentar