nusabali

Nyaris Punah, Kini Libatkan Daha Teruna

Kondisi Bendega di Kampung Turis Desa Adat Kuta

  • www.nusabali.com-nyaris-punah-kini-libatkan-daha-teruna

Nelayan kalangan muda juga mengangkut wisatawan yang hendak surfing ke tengah laut. Meski bukan menjadi aktivitas utama, kegiatan itu justru menarik minat lebih banyak anak muda.

MANGUPURA, NusaBali

Keberadaan sekaa bendega (kelompok nelayan) di Pantai Kuta, Desa Adat Kuta, Kecamatan Kuta, Badung, sempat mengalami krisis regenerasi. Penyebab utamanya, kehidupan krama Kuta secara umum amat dimanjakan oleh geliat sektor pariwisata. Tapi, pandemi yang merajam Bali sejak Maret 2020, membuat sektor pariwisata sekarat. Pengangguran pun melimpah hingga kaum daha teruna (kalangan muda, red) dirangkul untuk bekerja jadi nelayan.

Karena kejayaan turistik, hampir semua para teruna-teruni atau generasi muda Kuta enggan jadi bendega, sebagaimana mata pencaharian tetua mereka di pesisir dulu. Memang sah-sah saja, kalangan teruna-teruni  pesisir meninggalkan pekerjaan kebendegaan, beralih ke sektor pariwisata karena hasil yang lebih menggiurkan. Namun para tetua di pesisir itu kini khawatir, bahwa hilangnya penekun kerja nelayan tentu jadi ancaman bagi kraama Kuta sendiri. Karena tradisi kebendegaan yang diwariskan para tetua setempat, jadi punah.  

Untungnya, berkat masukan dan pemahaman dari para tetua setempat, generasi muda di Desa Adat Kuta kini kembali menekuni aktivitas kebendegaan. Karena  pekerjaan menangkap ikan tak hanya jadi tradisi, namun  sarat dengan nilai histori, terutama terkait kisah kejayaan Kuta terkini. Karena itu, kini di Desa Adat Kuta sudah ada 144 nelayan aktif. Mereka bernaung dalam empat kelompok.

Ketua Kelompok Nelayan Samudra Jaya 1 I Wayan Darmawan,44, mengakui saat aktivitas pariwisata di Pantai Kuta menggeliat, anak-anak nelayan tidak mau meneruskan aktivitas para tetua dan orangtua mereka sebagai nelayan. Mereka lebih tergiur bekerja di sektor pariwisata yakni hotel, restoran, akomodasi turistik lainnya. Akibatnya, krama bendega Kuta yang sudah mewariskan tradisi bendega tiga generasi, jadi putus. Karena tidak ada penerus. Yang ada, hanya bendega dengan umur rata-rata di atas 40 tahun. Sedangkan generasi usia 18 – 28 tahun tidak lagi mau menekuni aktivitas itu.

“Kalau pun ada  generasi yang mau kerja menangkap ikan, jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Semuanya sudah beralih ke sektor pariwisata dan yang tersisa hanya oarang tua,” bebernya saat ditemui di Pantai Kuta, Sabtu (9/10).

Kondisi itu, lanjut Darmawan, praktis menjadikan   krama bendega di pesisir Pantai Kuta terus berkurang. Tradisi menangkap ikan pun nyaris punah. Berangkat dari kondisi itu, para tetua yang kesehariannya beraktivitas di laut berupaya menjajaki anak-anak muda dengan pelbagai cara. Terutama, orangtua menjajaki anak-anak mereka masing-masing. Selain memberikan pemahaman dan sejarah terkait keberadaan nelayan di Kuta, para tetua ini juga mengakui bahwa keberadaan Kuta kini tidak terlepas dari kehadiran para nelayan itu sendiri.

Jelas Darmawan, keberadaan Kuta dan para bendeganya memiliki bentang sejarah yang panjang. Dimana kultur nelayan dan perhelatan hidup krama Kuta menyatu. Para bendega termasuk bendega dari luar, dulu usai menangkap ikan, berhenti di pesisir Pantai Kuta. Lama kelamaan, para nelayan akhirnya menempati wilayah Kuta yang kala itu masih hutan belantara. ‘’Seiring dengan perkembangan zaman, baru belakangan, Pantai Kuta terkenal dan menjadi salah satu destinasti wisata ternama di dunia,” ungkap Darmawan.

Setelah melakukan pelbagai upaya, jelas Darmawan, akhirnya generasi muda yang lahir dan besar di Kuta dan keluarga berlatarbelakang nelayan, mulai melirik tradisi  kerja kebendegaan. Satu hal baru kini, bendega kalangan generasi muda ini berinovasi kerja berbasis kelautan. Mereka menggabungkan aktivitas menangkap ikan yang sekaligus menggarap sektor pariwisata. Langkah ini, lanjut dia, sebagai salah satu upaya untuk menarik minat anak-anak muda untuk mau turun ke pantai atau melaut. Dengan demikian, aktivitas nelayan ini terus dapat diwariskan secara turun-temurun. “Karena orangtua kami sudah mewariskan ke kami. Maka kami berusaha menjaga dan terus mempertahankan tradisi hidup ini. Caranya, menggabungkan kerja nelayan dengan pariwisata,” beber Darmawan

Dengan penggabungan kerja dua sektor itu, dia dapat mencontohkan, para nelayan menyajikan aktivitas memancing bagi wisatawan. Nelayan kalangan muda juga mengangkut wisatawan yang hendak surfing ke tengah laut. Meski bukan menjadi aktivitas utama, kegiatan itu justru menarik minat lebih banyak anak muda. Bahkan di Kelompok Nelayan Samudera Jaya 1, terdapat belasan anak muda usia rata –rata 20 – 30 tahun ikut bergabung.

Dia mengaku bersyukur karena sudah banyak generasi muda Kuta mau kerja nelayan, apalagi saat pandemi Covid-19 kini. Anak-anak muda yang gabung di kelompok pun diterima dengan tangan terbuka. Aktivitas keseharian mereka kini mulai memancing ikan dan menebar jala ikan. Hasil tangkapan  ikan dijual untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. ‘’Saya berharap ke depannya tetap terus ada anak-anak muda yang meneruskan aktivitas ini,” harapnya. Anggota kelompok ini kini memiliki 25 unit perahu tangkap ikan. Bendesa Ada Kuta I Wayan Wasista menerangkan di Desa Adat Kuta terdapat empat kelompok nelayan.

Setiap kelompok memiliki jumlah keanggotaan yang berbeda-beda, termasuk area parkir perahu tangkap ikannya pun berbeda-beda. Dijelaskan, Kelompok Nelalayan Samudra Jaya 1 memiliki 44 anggota, berada di pantai dekat Pasar Seni Kuta, atau sebelah selatan pos Satgas Pantai Kuta. Kelompok Nelayan Samudra Jaya II beranggotakan 32 orang, dan Samudra Jaya III beranggotakan 36 orang, di Pantai Jerman. Kelompok Nelayan Sekeh Kuta dengan 32 anggita, berada di dekat Bandara Internasional Ngurah Rai, Tuban. “Total keseluruhan nelayan di Desa Adat Kuta kini 144 orang,” jelasnya. Kelompok nelayan di wawidangan (wilayah) Desa Adat Kuta ini telah terdaftar di Dinas Perikanan Kabupaten Badung sejak tahun 1990-an.*dar

Komentar