nusabali

Surat Edaran 'Berjilid-jilid', Begini Tanggapan Akademisi Universitas Warmadewa

  • www.nusabali.com-surat-edaran-berjilid-jilid-begini-tanggapan-akademisi-universitas-warmadewa

DENPASAR, NusaBali.com - Dalam perspektif jenjang norma, Surat Edaran (SE) tidak bisa mengandung sanksi, karena hal tersebut merupakan ranah peraturan daerah (Perda) paling bawah. Di sisi lain, Pemerintah Daerah punya kewajiban mendorong kesadaran masyarakat di tengah pandemi.

Demikian diungkapkan oleh Dr I Wayan Rideng SH MH. Akademisi dari Universitas Warmadewa (Unwar) Denpasar ini menanggapi polemik pemberlakuan Ganjil-Genap di daerah pariwisata, kawasan Pantai Kuta dan Pantai Sanur berdasarkan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2021.

Wayan Rideng memaklumi bahwa jenjang norma SE itu pun menciptakan debatable di antara masyarakat. Jadi apakah tidak harus diikuti? “Sing dilarang ngapain juga. Ini memang menjadi debatable. Tapi kita harus ingat bahwa Pemda mendorong kesadaran masyarakat di masa pandemi Covid-19,” terang Rideng.

Terhadap kebijakan pandemi melalui SE Ganjil-Genap,  Rideng mengingatkan hal ini berkaitan dengan langkah untuk menjaga momentum pandemi di Bali yang sedang melandai. “Jadi diperlukan adanya tatanan yang awalnya (kasus Covid-19) membludak, kemudian melandai,” kata Rideng.

Sebelumnya, lanjut Rideng, dengan adanya Permendagri yang memunculkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dengan berbagai level,  juga merupakan warning bagi masyarakat.  

“Jadi, Pemda wajib hadir mengendalikan pandemi. Kebijakan ini salah satu upaya untuk mengurangi kerumunan. Karena potensi kerumunan akan menambah klaster yang sudah melandai. Kekhawatiran itulah yang menjadi guidance pemerintah supaya Bali bisa turun lagi ke  PPKM Level 2, lalu new normal,” urai Rideng.

Penilaian Rideng ini diungkapkan saat menjadi narasumber dalam talkshow di kanal YouTube NRTV yang diunggah pada Jumat (1/10/2021).  Saat Kadek Arimbawa selaku moderator menanyakan kekuatan hukum pemberlakuan dari SE. “Masyarakat jenuh karena dikasih SE terus. Sebenarnya bagaimana pemberlakuan SE ini,” tanya Kadek Arimbawa.

Rideng pun menyebut bahwa payung hukum dalam hal penanganan pandemi sebenarnya adalah UU Kedaruratan, kemudian di-breakdown masalah kekarantinaan dan berbagai bentuk regulasi lainnya. 

Sebagaimana diketahui, SE Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2021 terkait penerapan ganjil-genap bagi kendaraan yang melintas di daerah pariwisata, kawasan Kuta dan kawasan Sanur. Diberlakukan Sabtu-Minggu pada pukul 06.30-09.30 WITA dan 15.00-18.00 WITA mengundang polemik di masyarakat yang merasa keberatan.
 
“Kalau kita cermati, SE itu diterbitkan dalam upaya mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat berkaitan dengan pandemi,” urai Rideng. “Sifat (surat) edaran adalah mendorong terbentuknya sebuah kesadaran,” ulang Rideng.

“Lalu bagaimana jika masyarakat yang merasda keberatan atau dirugikan melakukan gugatan?,” tanya Kadek Arimbawa.

Rideng pun menegaskan,”Tidak bisa. Tidak ada legal standing-nya.  Karena terbitnya SE ini adalah upaya mendorong kesadaran bagi masyarakat, bukan paksaan absolut. Dan dalam praktiknya, ada diskresi-diskresi di lapangan.”

Rideng pun menilai bahwa dalam penerapan ganjil-genap di Kuta dan Sanur ada fleksibilitasnya. “Jadi sekali lagi, legal standing gugatan tidak ada,  karena pemerintah daerah juga tidak memberikan ketentuan absolut larangan,” tegas Rideng. *mao






Komentar