nusabali

BKSDA: Perdagangan Anakan Kera Ekor Panjang Tidak Bisa Dijerat UU KSDAE

  • www.nusabali.com-bksda-perdagangan-anakan-kera-ekor-panjang-tidak-bisa-dijerat-uu-ksdae

DENPASAR, NusaBali.com – Maraknya perdagangan  anakan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) di Pasar Burung Satria Depasar membuat geram LSM yang melindungi satwa liar di Indonesia, Jakarta Animal Aid Network (JAAN).

Pendiri JAAN, Femke den Haas, menyebut monyet ekor panjang adalah spesies primata yang sangat sosial, hidup berkelompok, dan cerdas. Mereka tidak layak untuk dipelihara sebagai hewan peliharaan.

Dimintai tanggapan mengenai ini pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali menyebut Undang-Undang KSDAE (Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya) tidak bisa diterapkan untuk menghukum pelaku perdagangan satwa ini. Pelaku perdagangan satwa kera ini hanya bisa dikenakan pasal penyiksaan hewan sesuai pasal KUHP. Itu pun kalau jelas-jelas terbukti disiksa dan delik penyiksaannya terpenuhi.

“Peredarannnya sebenarnya bisa diatur dengan Perda, karena merupakan tipiring (tindak pidana ringan) dan sanksinya lebih condong ke sanksi administrasi. Untuk itu perlu pendekatan dan dikomunikasikan dengan Pemda setempat,” ujar Kepala BKSDA Bali, R Agus Budi Santosa, Senin (27/9/2021).

Agus menambahkan untuk perdagangan bayi kera jenis ini, BKSDA sulit memantau  karena ukuran satwa yang kecil, jinak, dan mudah disembunyikan.

Dikatakannya, bagi penyayang hewan memang terlihat kasihan dengan nasib bayi-bayi kera ini, namun menurut aturan  pelaku perdagangan satwa kera ini tidak bisa dikenai hukuman berat karen satwa tidak dilindungi undang-undang.

“Razia satwa kera jenis ini amat tidak efisien serta tidak sebanding antara nilai konservasi dan bobot kesalahan dibanding dengan biaya operasional dan biaya perawatan apabila satwa disita,” kata Agus.

Dijelaskan, spesies kera ekor panjang ini populasinya relatif melimpah karena termasuk mamalia yang sangat  mudah bertahan hidup, mudah menyesuaikan diri di lingkungan manusia, makan apa pun yang dimakan manusia,  produktif berkembang biak seperti manusia, tidak ada saingan dengan spesies jenis kera lain, dan tidak ada  hewan pemangsanya.

Agus justru menyebut bayi kera abu-abu ini mungkin lebih aman dan sejahtera dipelihara manusia daripada kekurangan pakan dan dibunuh sesama kera di alam liar. Selain itu sangat jarang ditemukam penyiksaan terhadap satwa kera jenis ini di Bali karena banyak yang percaya bahwa kera ini adalah titisan atau keturunan Dewa Hanoman yang patut dihormati.

“Satwa ini tidak dilindungi undang-undang dan cenderung jadi hama apabila populasinya tidak terkontrol,” tambah Agus.

Sebelumnya pendiri JAAN, Femke den Haas mengatakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Indonesia memang masih belum mendapatkan perlindungan meskipun faktanya menurut daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) status spesies Macaca di alam dinaikan menjadi tingkat ‘Rentan’.

Dikatakannya, monyet ekor panjang hidup dalam kelompok dan keluarga yang solid. Untuk bisa mendapatkan anak atau bayi monyet biasanya para pemburu akan membunuh induknya. “Tentu saja hal ini sangatlah kejam dan bertentangan dengan kesejahteraan hewan bahkan peraturan pemerintah,” ujar den Haas.

“Kami berharap pemerintah Bali melalu Dinas Peternakan, Pemerintah Kota Denpasar, dan tentunya Balai Karantina Denpasar dapat menghentikan perdagangan monyet ekor panjang di pasar burung,” imbuh Den Haas. *adi

Komentar