nusabali

MURIARA WEDA: Politik Ajaran

Sreyohi jnānam abhyāsāj jnānād dhyānam visisyate, Dhyānāt karma-phala-tyāgas, tyāgāc chāntir anantaram. (Bhagavad-gita, XII.12)

  • www.nusabali.com-muriara-weda-politik-ajaran

Dibandingkan yoga biasa, pengetahuan adalah lebih baik. Dibandingkan pengetahuan, meditasi lebih baik. Yang terbaik adalah tindakan tanpa mengharapkan hasil, sebab tindakan seperti ini membawa kedamaian abadi.

DALAM konteks ini, Krishna tampak membanding-bandingkan ajaran. Karena dibandingkan, maka ajaran itu tampak ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Seperti misalnya teks di atas, Krishna membandingkan empat jenis ajaran, yakni abhyasa, jnana, dhyana, dan tyaga. Jika dirunut abhyasa adalah ajaran yang paling rendah kualitasnya, kemudian baru jnana, selanjutnya dhyana, dan terakhir tyaga. Mengapa? Karena menurut-Nya, tyaga-lah yang membawa seseorang menuju kedamaian abadi. Lalu, apakah abhyasa, jnana, dan dhyana tidak dapat membawa seseorang pada kedamaian batin yang abadi? Dalam konteks teks di atas tanpa memadukannya dengan sloka-sloka lainnya, maka jawabannya adalah ‘ya’. Teks di atas bicara bahwa hanya tyaga saja yang dapat mengantarkan pada kedamaian abadi, karena ajaran inilah yang tertinggi. Betulkah demikian?

Mari kita lihat sedikit lebih jauh. Di awal, Krishna menyatakan bahwa ada dua jalan yang diajarkan, yakni jalan karma dan jalan jnana. Dari kedua jalan itu, jnana dikatakan lebih baik. Ini adalah bentuk perbandingan. Sementara pada segmen lain, Krishna menyebut, “dengan jalan apapun engkau memuja, Engkau akan datang pada-Ku”. Ini adalah bentuk equality, semua ajaran akan mengantar pada satu tujuan yang sama. Sementara, di tempat lain Dia mengatakan, “orang yang memuja leluhur akan mencapai leluhur, yang memuja Dewa akan mencapai Dewa, dan yang memuja-Ku langsung mencapai Aku”. Ini lain lagi. Hanya ‘Aku’ yang tertinggi, tidak ada yang lain. Ini adalah bentuk perbandingan, dan ketika ada orang yang menerapkan ajaran ini per se akhirnya menimbulkan banyak masalah. Mengapa bermasalah? Karena menurut tafsir mereka, ‘karena Krishna adalah yang tertinggi lalu tidak penting dan tidak perlu memuja leluhur’. Ini tentu bermasalah, sebab sebagian besar peradaban memuliakan leluhur.

Maka dari itu, jika ingin mengikuti ajaran Krishna secara lurus tentu akan bermasalah. Mengapa? Karena Krishna sendiri tidak firm dengan satu bentuk. Jika demikian, apakah sebenarnya Krishna tidak paham dengan semua ajaran itu atau ada politik tertentu yang sedang dimainkannya? Kita tidak bisa menyatakan bahwa Krishna ‘tidak paham’, sehingga yang memungkinkan adalah ada misi tertentu yang hendak dicapai sehingga memberikan statement yang berbeda-beda. Dalam konteks perang Bharatayuda, tentu politiknya adalah membangkitkan kembali semangat Arjuna agar perang itu tetap terjadi. Dalam konteks ajaran spiritual, tentu politik-Nya adalah membuat orang menjadi tidak nyaman dengan salah satu bentuk. Mengapa Beliau membuat orang ‘tidak nyaman’? Sebab tendensi orang adalah mencari kenyamanan (kemapanan) pada sebuah ajaran dan terjebak di dalamnya, sehingga Realisasi Tertinggi tidak diraih. Inilah mengapa tafsir yang muncul dari ‘satu bentuk ajaran yang termapankan’ harus pontang-panting membuat narasi sehingga tampak Krishna mengajarkan ‘hanya’ seperti yang ditafsirkannya. Ini pula yang menyebabkan tafsir-tafsir yang ada tampak bertentangan, satu ke kanan, yang lainnya ke kiri, dan yang lainnya lagi ke arah yang berbeda.

Jika Krishna secara politis mengajarkan agar kita tidak nyaman pada satu bentuk, maka apakah itu artinya kita harus berpindah-pindah dari satu bentuk ajaran ke ajaran lain? Rasanya tidak demikian. Hal yang utama adalah menemukan Yoni, yakni ajaran apa yang cocok buat diri sendiri. Mungkin selama masih merasa kurang cocok, ia harus berkelana pada ajaran yang berbeda-beda, tetapi ketika sudah sesuai, ia harus stick dan maju di sana. Sepertinya Krishna berupaya menyampaikan bahwa apapun bentuk ajaran itu, sepanjang mereka mampu menemukan ‘Aku’ di dalamnya, maka itulah ajaran yang tertinggi bagi pelakunya. Rasanya, inilah Politiknya Krishna sehingga Dia harus membandingkan berbagai bentuk ajaran dan setiap statement-nya senantiasa bertentangan. Orang mesti bertumbuh pada satu bentuk ajaran dan tidak terjebak dengan bentuk ajaran itu. Bentuk ajaran hanya media untuk ‘pointing out’ menuju ‘Aku’ – Sang Kesadaran Sejati. *

I Gede Suwantana

Komentar