nusabali

Laris Manis Madu Kelulut

Wanita dijajah pria sejak dulu Dijadikan perhiasan sangkar madu (“Sabda Alam”, Ismail Marzuki)

  • www.nusabali.com-laris-manis-madu-kelulut

Madu dihasilkan oleh koloni lebah, tak terbilang manfaatnya, sejak beribu tahun silam. Makin tua usia Bumi, kian banyak ditemukan khasiat madu. Begitu kuat khasiat madu, sering cairan kental manis gurih ini diibaratkan wanita ayu.

Seperti lebah penghasil madu yang dikurung dalam sangkarnya, begitulah takdir perempuan cantik: acap dikurung pria agar cuma dia yang bisa mengisap sepuasnya. Ismail Marzuki punya daya ucap pas dan kuat untuk itu: sangkar madu.

Dulu, sebelum ‘80-an, orang Bali cuma mengenal madu sumbawa, madu yang dihasilkan dari hutan-hutan di Pulau Sumbawa. Mungkin ada juga hasil dari peternakan lebah. Jika ada keluarga yang bisa membeli madu sumbawa, pasti keluarga berada, berduit, sehingga membeli madu sumbawa menjadi semacam gengsi tersendiri. Kalau ada kerabat yang pergi ke Sumbawa, pasti disodori permintaan, “Nanti kalau pulang jangan lupa bawa oleh-oleh madu sumbawa ya.”

Karena begitu bergengsi dan terkenal madu sumbawa, banyak orang membutuhkannya, sehingga itu madu sulit didapat. Harganya juga jadi melambung, maka mulai beredar madu sumbawa palsu. Yang palsu-palsu begini sekarang disebut madu KW, tidak ori, dikenal sebagai madu campuran. Penjualnya banyak berkeliling ke rumah-rumah, tak sedikit sampai menelusup ke kampung-kampung. Awalnya banyak pembeli, tapi banyak yang kecewa.

“Ini madu jadi-jadian,” ujar orang-orang menggerutu. Karena para penjual keliing yang membawa sampai lima-sepuluh botol itu mengaku menjual madu sumbawa, maka jatuhlah pamor madu sumbawa. Madu jenis ini diidentikkan sebagai madu palsu, bukan madu. Banyak orang bahkan menolak membeli madu sumbawa, karena dianggap pasti palsu, padahal yang dijual bisa saja asli.

Tapi orang-orang terlanjur memberi cap sebagai madu KW. Bahkan mulai tersebar gosip jangan sekali-sekali membeli madu sumbawa yang dijual keliling itu. Kalau mau madu sumbawa pesan yang asli ke asalnya di Sumbawa. Perlahan-lahan reduplah peredaran madu sumbawa di Bali. Tak ada lagi penjual madu keliling, karena nyaris semua orang menghindari madu sumbawa.

Tapi, tidak berarti madu lenyap, justru semakin banyak jenis madu muncul selepas tahun 2.000-an. Beraneka ragam warnanya macam-macam, ada yang kehijauan, coklat tua, bening, sampai hitam. Madu-madu itu dihasilkan dari hutan-hutan di seluruh Tanah Air, sehingga diperdagangkan sebagai madu hasil lebah liar. Diiklankan sebagai madu yang lebih berkhasiat, dibanding madu yang diternakkan. Namun, tantangan ini dijawab oleh para petani yang justru semakin banyak menternakkan lebah, sehingga produksi madu kian berlimpah.

Yang beternak lebah tidak harus berlatar petani, banyak yang dulu sebagai pemandu wisata, sopir angkutan para pelancong, pulang kampung beternak lebah, menjadi produsen madu, karena pandemi Covid-19. Mereka membuat belasan koloni, dan mempromosikan madu-madu mereka lewat jaringan media sosial. Maka bertebaranlah informasi kebun-kebun yang memelihara lebah di medsos. Di Bali, sejak pandemi, lebah banyak diternakkan di daerah-daerah dengan tegalan luas, seperti di Payangan di Gianyar, atau Balangan, Baha, di Kecamatan Mengwi, Badung.

Banyak yang mencoba beternak lebah yang tidak lazim kita kenal. Para peternak lebah ini memelihara lebah tanpa sengat seperti jenis Trigona yang menghasilkan madu kele-kele. Madu jenis ini punya banyak nama, sesuai daerah lebah ini diternakkan. Di Kalimantan disebut madu klanceng, di Jawa diberi nama madu kelulut. Bali menyebutnya kele. Apapun namanya madu kele sering dipublikasikan sebagai madu dengan khasiat sangat banyak. Yang paling sering didengungkan, madu kelulut sangat bagus untuk meningkatkan imunitas tubuh.

Nah, ini promosi paling pas dan cocok untuk promosi di masa pandemi, sehingga madu kele pun naik daun, harganya melambung, berkisar Rp 350.000 sampai Rp 400.000 untuk 500 ml. “Kalau madu biasa harganya setengah madu kele,” ujar Made Cupliz, 37, peternak lebah Trigona penghasil madu kele di Balangan, Mengwi.

Made Cupliz punya 250 koloni di lahan kebunnya seluas 60 are. Ia gesit berpromosi di medsos berusaha membujuk banyak pengunjung ke kebunnya dengan mengajak mereka menikmati madu kele langsung dari sarang lebah. Pengunjung diberi pipet, menancapkannya ke sarang, lalu, srruuuppppp….. sruuupppp…. madu pun diseruput. “Jangan takut disengat, lebah Trigona tanpa sengat,” jelas Made Cupliz kalau ada pengunjung yang ragu, ngeri-ngeri tapi ingin, berdiri di samping sarang.

Di masa pandemi ini, banyak orang demam, tubuh gemetar, meriang, kepala pusing karena terpapar virus. Tapi, banyak yang masa kini lagi demam madu, ketagihan menyeruput madu kele, biar tidak terlanjur diserang demam covid. Kalau tidak ada pandemi tak setinggi ini permintaan madu, tak sebanyak ini pula madu kalenceng laku. Madu kini menjadi komoditas laris manis. Beternak lebah, berbisnis madu kini menjadi ufuk baru meneruskan hidup yang pontang-panting akibat diseruduk Covid-19. *

Aryantha Soethama

Komentar