nusabali

Wayang Sapuh Leger, Penyucian Diri di Hari Tumpek Wayang

  • www.nusabali.com-wayang-sapuh-leger-penyucian-diri-di-hari-tumpek-wayang

GIANYAR, NusaBali.com - Pada hari Saniscara Kliwon Wuku Wayang, Sabtu (6/8/2021), umat Hindu di Bali akan merayakan salah satu hari penting warisan leluhur, yakni Tumpek Wayang.

Tumpek Wayang sendiri identik dengan pergelaran wayang kulit yang biasa dipentaskan pada hari suci tersebut. Wayang Sapuh Leger, demikian biasa disebut, digelar sebagai penyucian diri bagi orang yang kebetulan lahir pada Wuku Wayang. 

“Hari Tumpek Wayang itu adalah hari suci yang lebih banyak mengarah ke arah peruwatan atau pesucian bagi yang lahir pada wuku wayang. Kalau dia lahir di wuku wayang akan ada pementasan wayang yang disebut dengan Wayang Sapuh Leger,” ujar I Gusti Ngurah Serama Semadi, seorang seniman pedalangan khususnya Wayang Sapuh Leger, Jumat (6/8/2021).

Lebih jauh dijelaskannya sapuh berarti peruwatan, leger berarti mala atau kotoran yang ada dalam diri manusia itu sendiri, sehingga sapuh leger bermakna pembersihan atau peruwatan kotoran atau mala secara niskala yang ada di dalam diri manusia yang lahir pada wuku wayang.  

Mantan Kepala Sekolah SMKN 3 Sukawati (Kokar) menambahkan, wuku wayang terdiri dari tujuh hari selama satu minggu penuh, dimulai pada hari Minggu hingga hari Sabtu, di mana pada hari Sabtunya dirayakan sebagai hari Tumpek Wayang.

Orang yang lahir pada wuku wayang, dituturkannya, biasanya berperilaku aneh. “Di rumahnya, sering marah-marah. Sering meminta sesuatu, kalau tidak dikasih dia marah-marah. Dia berani dengan orangtua. Atau dia pendiam, tetapi ketika mengambil pekerjaan, pekerjaan yang aneh yang tidak biasanya, tidak sesuai dengan apa yang musti dia lakukan,” terang Ngurah Serama.

Sementara itu, pementasan Wayang Sapuh Leger sendiri biasanya menceritakan kisah Sang Hyang Rare Kumara yang dikejar-kejar oleh sang kakak Sang Hyang Bathara Kala untuk dibunuh. Sang Hyang Rare Kumara diceritakan mempunya sifat berani melawan kakaknya Sang Hyang Bathara Kala.  Mereka berdua dikatakan  sama-sama lahir di wuku wayang.

Atas inisiatif sang Ayah, Bathara Siwa, dibuatlah cara agar Sang Hyang Bathara Kala tidak dapat menangkap adiknya Sang Hyang Rare Kumara. Pada saat ada pementasan wayang, Sang Hyang Bathara Kala mengejar adiknya, namun sang adik berhasil bersembunyi di bawah bumbung gender (alat musik) yang ada dalam pementasan wayang tersebut.  

Sang Hyang Bathara Kala mengamuk hingga menjatuhkan upakara dalam pementasan tersebut. Sehingga membuat sang dalang marah, dan meminta Bathara Kala untuk mengembalikan upakara seperti semula. 

Namun Bathara Kala tidak menyanggupinya, sehingga dibuatlah kesepakatan jika ada orang lahir di wuku wayang, setelah diupacarai dengan Wayang Sapuh Leger, Bathara Kala tidak boleh lagi menggoda atau mengganggu apalagi membunuh orang tersebut. 

Di sisi lain, terkait dengan peruwatan atau penyucian diri, selain Wayang Sapuh Leger, Ngurah Serama juga mengatakan terdapat pagelaran wayang lain yang juga berfungsi untuk melakukan pembersihan diri, disebut dengan Wayang Sudamala. 

Dicontohkannya, dalam kehidupannya seseorang misalnya sering ditimpa musibah jatuh saat berkendara. Untuk menghilangkan nasib buruk yang selalu menimpanya, orang tersebut dapat mengadakan ruwatan dengan menggelar Wayang Sudamala. 

Meski memiliki makna dan tujuan yang serupa, namun Wayang Sapuh Leger dan Wayang Sudamala memiliki perbedaan pada kapan waktu dipentaskannya. Jika Wayang Sapuh Leger khusus dipentaskan pada hari Tumpek Wayang, Saniscara Kliwon Wuku Wayang.

Sementara Wayang Sudamala dipentaskan biasanya pada saat peringatan hari kelahiran (wuku) orang yang bersangkutan. “Mempunyai makna dan tujuan yang sama, tetapi hari peruwatannya beda,” ujar Ngurah Serama. 

Seiring perubahan zaman pementasan Wayang Sapuh Leger juga mengalami perubahan. Meski pada upakara (bebantenan) tidak banyak mengalami perubahan, namun pada tata cara pementasan, Ngurah Serama melihat ada perubahan yang terjadi saat ini. 

Ia mencontohkan dengan diadakannya pementasan Wayang Sapuh Leger secara massal, di mana orang yang diruwat tidak hanya satu orang melainkan dalam jumlah banyak, sehingga tata caranya pun otomatis menjadi berubah. 

Ngurah Serama pun berujar jika menjadi seorang dalang Wayang Sapuh Leger tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Seorang dalang Wayang Sapuh Leger harus sudah melewati proses penyucian atau pewintenan seperti seorang pendeta Hindu. 

Selain itu, tambahnya, seorang dalang Wayang Sapuh Leger seyogyanya pada  tiga hari sebelum melakukan pementasan Wayang Sapuh Leger  tidak boleh melakukan hubungan badan dengan istrinya. “Kalau bagusnya tujuh hari sampai sebelas hari,” imbuh seniman asal Puri Taman Saba, Blahbatuh, Gianyar ini.  *adi


Komentar