nusabali

Sejak Dahulu Sastra Bali Telah Berpihak kepada Lingkungan Alam

  • www.nusabali.com-sejak-dahulu-sastra-bali-telah-berpihak-kepada-lingkungan-alam

DENPASAR, NusaBali.com - Beratnya permasalahan lingkungan hidup dewasa ini, membuat banyak orang tertarik untuk berpaling kembali kepada kearifan lokalnya. Bali yang dikenal memiliki budaya yang menghormati alam, memiliki sejumlah pandangan yang menarik digunakan dalam menghadapi permasalahan lingkungan.

Hal ini bisa dilihat dalam sarasehan (widyatula) yang diselenggarakan dalam gelaran Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIII tahun 2021, Rabu (7/7/2021), yang diselenggarakan secara daring.

Sarasehan bertajuk 'Sastra Lingkungan Ritus Kata dan Testimoni', menghadirkan dua pembicara, I Ketut Sumarta, sastrawan Bali, dan Hasan Aspahani, sastrawan asal Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

FOTO: Hasan Aspahani .-IST

Kedua pembicara ini mendiskusikan bagaimana sesungguhnya kearifan lokal Bali, dalam wujud sastra, telah dan selalu berpihak kepada alam. “Sastra itu adalah totalitas kehidupan manusia Bali. Bermula dari sastra, hidup sehari-hari dengan sastra, dan berakhir pada sastra,” ujar I Ketut Sumarta sebagai pembicara pertama.

Sastra yang dimaksudkan oleh orang Bali zaman dahulu, menurut Sumarta berbeda dengan konteks saat ini. Jika saat ini sastra hanya identik dengan puisi atau prosa, sastra dalam pengertian Bali lebih dari itu yakni terdiri dari Weda, agama, wariga, itihasa, babad, tantri, dan lelampahan.

Nilai yang ada dalam sastra-sastra tersebut, lanjut Sumarta, kemudian mewujud dalam filosofi Sad Kerti, enam tindakan kebaikan terpuji atau perbuatan mulia yang mendatangkan kemasyuran.

Pertama giri/atma kerti, sikap dan tindakan terpuji terhadap gunung/jiwa. Segara Kerti, sikap dan tindakan terpuji terhadap laut, wana kerti, sikap dan tindakan terpuji terhadap hutan/tumbuhan, danu kerti, sikap dan tindakan terpuji terhadap danau, jagat kerti, sikap dan sikap dan tindakan terpuji terhadap bumi/negara, dan jana/swi kerti, sikap dan tindakan terpuji terhadap sawah termasuk tegalan/sesama.

Sementara Hasan Aspahani, sastrawan asal Kutai Kartanegara yang mencintai sastra Bali mengatakan bahwa dalam kosmologi Bali, alam dan manusia hadir sebagai kesatuan yang teratur dan seimbang.

“Manusia tak terpisah tapi menyatu dengan alam di luar dirinya. Hanya dengan itu manusia bisa 'menemukan jati diri', sebagaimana puisi, yang hanya dengan penyatuan yang serasi antara isi dan bentuk, maka makna yang luas dan dalam bisa tercipta, dan kesejatian Puisi tercapai,” ujar Hasan.

Ia menambahkan bahwa alam benda (prakerti), yang dipahami dalam kosmologi Bali terdiri dari tiga unsur (triguna), yaitu Sattwan (yang terang dan menerangi), rajas (yang aktif dan dinamis), tamas (yang berat dan gelap), adalah energi yang bisa menjadi chaos, chaotic, tapi keberadaan purusa membuat ketiga unsur kebendaan itu seimbang.

Keseimbangan itu seperti keutuhan (unity) dalam puisi, juga kesungguhan (intensity), apa yang terbentuk dari kerumitan (complexity) Triguna.

“Yang semakin menarik dalam catatan saya ketika belajar pada Bali, pada kosmologi Bali, adalah proses saya menghayati puisi tadi, yaitu, mengalami, menyadari, menghayati dan memaknai saya menemukan hal yang juga paralel dari kelanjutan berpaduan dua kontras azas Purusa dan Prakerti,” ungkap Hasan.  *adi

Komentar