nusabali

Seminar 100 Profesor Bicara Stunting: Kearifan Lokal Berhasil Tekan Angka Stunting di Bali

  • www.nusabali.com-seminar-100-profesor-bicara-stunting-kearifan-lokal-berhasil-tekan-angka-stunting-di-bali

DENPASAR, NusaBali.com - Masih dalam rangkaian Hari Keluarga Nasional 2021, Perwakilan BKKBN Provinsi Bali mengadakan seminar nasional bertajuk ‘100 Profesor Bicara Stunting’, Selasa (6/7/2021), dengan menghadirkan dua guru besar, yakni Prof Dr Ida Bagus Raka Suardana SE MM, dan Prof  Dr I Wayan Gede Supartha SE SU.

Dalam seminar yang diikuti oleh lebih dari 60 peserta tersebut juga hadir Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian, dan Pengembangan BKKBN Prof Drh Rizal Damanik, MRepSc PhD, Kepala BKKBN Dr (HC) dr Hasto Wardoyo SpOG (K), Ketua Umum Assosiasi Profesor Indonesia (API) Pof Dr Ir Ari Purbayanto MSc, dan Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bali, Drs Agus Putro Proklamasi MM.

Pembicara pertama  Prof Dr Ida Bagus Raka Suardana, SE MM, mengatakan bahwa meski di beberapa kabupaten di Bali kantong stunting masih ditemukan, permasalahan stunting di Bali saat ini menurutnya cukup terkendali. “Perhatian pemerintah daerah sudah cukup besar di tiap kabupaten,” ujar Suardana Guru Besar Ekonomi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas).

Selain perhatian pemerintah yang sudah cukup baik dengan berbagai programnya, menurutnya adanya kearifan lokal juga mempengaruhi tingkat keberhasilan menekan angka stunting di Bali.

Lebih jauh ia menunjukkan bagaimana berbagai organisasi tradisional seperti desa adat, banjar, sekaa, subak, mampu berperan dalam mengkoordinir dan mengatasi berbagai permasalahan masyarakat Bali.

Filosofi masyarakat Bali juga ia utarakan memberi andil dalam pengendalian kasus stunting di Bali. “Tri Hita Karana, bagaimana harmonisasi dengan Tuhan, Manusia, dan Alam. Juga ada Catur Guru, hormat kepada orang tua, guru di sekolah, pemerintah, dan terutama kepada Tuhan. Inilah yang membuat program pemerintah di Bali dapat diimplementasikan dengan baik,” ujar Prof Raka Suardana.

Sementara itu Prof  Dr I Wayan Gede Supartha SE SU, sebagai pembicara kedua melanjutkan dengan mengatakan bahwa selain dapat mengandalkan kearifan lokal, kesejahteraan keluarga juga harus menjadi perhatian dalam mengendalikan angka stunting di Bali.   

“Tentunya pendapatan dari rumah tangga baru yang memiliki anak juga harus mencukupi, incomenya harus kita tingkatkan juga,” ujar Guru Besar Manajemen SDM Universitas Udayana (Unud) tersebut.

Karena itu, ia menambahkan, pengendalian program stunting harus menjadi sinergi dari setiap program yang ada yakni , program kesehatan, pemberdayaan masyarakat, termasuk pelatihan-pelatihan yang terkait dengan pengetahuan atau keterampilan dalam menjaga kesehatan.

Sebelumnya Ketua Umum Assosiasi Profesor Indonesia (API) Prof Dr Ir Ari Purbayanto MSc menyebutkan permasalahan stunting adalah permasalahan multi dimensi yang dapat didekati dari berbagai sudut pandang ilmuwan. Dengan demikian peran para profesor lintas disiplin ilmu sangat penting untuk tampil menyumbangkan pemikirannya dalam mengatasi permasalahan stunting di negeri ini.

“Masalah penurunan angka stunting bukan hanya tugas pemerintah dalam hal ini BKKBN tetapi juga tanggung jawab semua pihak termasuk akademisi dan perguruan tinggi, yang kemudian pengalamannya diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti,” ujar Ari.

Sementara Kepala BKKBN Dr (HC) dr Hasto Wardoyo, SpOG (K), dalam sambutannya mengatakan bahwa pada awal tahun 2021 Pemerintah Indonesia menargetkan angka stunting turun dari 27,7 persen di tahun 2021 ini menjadi 14 persen di tahun 2024. Dan Presiden Joko Widodo menunjuk Kepala BKKBN menjadi Ketua Pelaksana Percepatan Pencegahan Stunting.

Hasto menambahkan jika kondisi kependudukan sekarang membutuhkan SDM yang unggul untuk Indonesia maju, karena melihat bahwa proporsi pemuda cukup besar dan menjadikan beban yang besar juga bagi bangsa dan negara untuk menciptakan generasi muda yang berkualitas.

“Kalau kita lihat proporsi antara yang produktif dan yang tidak produktif, maka kondisi Indonesia saat ini sangat strategis karena defendency ratio  sangat rendah, sehingga peluang bonus demografi bisa lebih awal diterima oleh bangsa kita,” terang Hasto.

Stunting sendiri dalam beberapa tahun terakhir menjadi isu hangat. Pasalnya Indonesia tengah mempersiapkan generasi emas 2045. Namun masih ada kendala soal masalah gizi utama bagi bayi dan anak di bawah usia dua tahun di Indonesia.

Masalah stunting yang dimaksud adalah kekurangan gizi pada bayi di 1.000 hari pertama kehidupan yang berlangsung lama dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak. Karena mengalami kekurangan gizi menahun, bayi stunting tumbuh lebih pendek dari standar tinggi balita seumurnya.  *adi

Komentar