nusabali

Dari Majapahit, Gumin Encik Jadi Gumi Becik

Menyusuri Banjar Gumicik, Desa Ketewel, Gianyar

  • www.nusabali.com-dari-majapahit-gumin-encik-jadi-gumi-becik

Sebagian warga pendatang yang menetap, diantaranya etnis Tionghoa kemudian membangun permukiman. Dari situlah diperkirakan asal-asul nama Gumicik. Berawal dari Gumin Encik.

GIANYAR, NusaBali

Banjar Gumicik, salah satu dari 11 banjar di Desa/Adat Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar. 10 banjar lainnya yakni Banjar Puseh, Tengah, Pamesan, Pasekan, Kacagan, Keden, Kucupin, Kubur, Manyar, dan Banjar Pabean.

Banjar Gumicik terletak di salah satu titik pesisir selatan Bali. Banjar Gumicik dan sekitarnya punya peran penting dalam perjalanan sejarah Bali. Gumicik merupakan salah satu tempat mangkal armada Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Saat itu, pasukan Majapahit menyerang Bali  yang ketika itu dipimpin Raja Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten, tahun 1343 M. Tinggalan fisik atau artefak terkait ekspansi ini memang tak banyak di temukan di wilayah ini. Demikian juga sumber-sumber  tertulis dalam bentuk prasasti maupun naskah kuna pendukung, juga nihil.

Namun demikian, tidak mematahkan keyakinan masyarakat sekitar tentang sejarah Gumicik dalam ekspedisi Wilwatikta, nama lain dari Majapahit dalam ekspansinya yang dipimpin Patih Gajah Mada. Peran sejarah Gumicik terekam dalam memori atau ingatan warga hingga menjadi cerita yang terwariskan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. “Sehingga sampai hari ini cerita tentang ekspansi Majapahit di Gumicik masih kuat dan hidup,” ujar I Wayan Puja Tresna,49, salah seorang warga Banjar Gumicik, Rabu (16/6).

Sebagai ‘ahli waris’ sejarah itu, Puja Tresna yang akrab disapa Nang Uja ini mengaku beruntung mendapat warisan tentang kisah Gumicik dari para tetua atau pinesepuh desa. Salah satunya dari Jro Mangku Gede Pura Payogan Agung, di Desa Adat Ketewel. “Saya memang suka dengan kisah masa lalu,” ucap mantan Ketua Sabha Desa Ketewel ini.

Dari cerita pangelingsir di Ketewel, kata Puja Tresna, Gumicik pada mulanya kawasan hutan pesisir. Namanya, Mercikawana. Suatu ketika di tahun 1343, bala tentara  Majapahit dipimpin Patih Gajah Mada menyerang Raja Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten, yang menurut ahli sejarah adalah raja terakhir dari Dinasti Warmadewa.

Sebelum melajukan serangan, sebagian armada Majapahit merapat atau mangkal di pesisir selatan. Salah satunya di pesisir Gumicik.

Dari situlah bala tentara Majapahit menuju Keraton Batananyar di Desa Bedahulu, kini Desa Bedulu, Kecatamatan Blahbatuh. Bedahulu merupakan istana Raja Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten. Ke lokasi ini,

Pasukan Majapahit melintasi sejumlah tempat atau desa. Mulai dari pusat Desa Ketewel Ketewel yang sebelumnya Alas Jerem, lanjut ke utara Alas Harum, Desa Guwang sekarang. Sedang di batas barat, di Batuyang atau Desa Adat Batuyang, Desa Batubulan Kangin, Kecamatan Sukawati, awalnya adalah adalah Alas Girang.

Tiba di Cemenggaon, sisi timur Desa Celuk, Kecamatan Sukwati, pasukan itu menuruni Tukad Wos, lanjut ke utara sampai di Hyang Tiba, Desa Batuan. Pasukan sempat jenak di Desa/Kecamatan Blahbatuh, sebelum tiba di ibukota Keraton Bedaulu yang dikenal dengan Keraton Batananyar.

Karena pernah menjadi pangkalan tentara Majapahit itulah, papar Puja Tresna, pantai Gumicik juga disebut Pasih Mangkalan. Mangkalan berarti tempat penambatan perahu, dermaga atau pelabuhan. Pasca ekspedisi Majapahit, pesisir Gumicik kian berkembang dan ramai. Sebagian warga pendatang yang menetap, diantaranya etnis Tionghoa kemudian membangun permukiman.

Dari situlah diperkirakan asal-asul nama Gumicik. Berawal dari Gumin Encik. Kata ‘encik’  merujuk sebutan akrab orang Bali pada warga keturunan Cina atau Tionghoa. Artinya, tempat tinggal atau kampung warga etnis keturunan Tionghoa, semacam kampung Cina lokal atau pacinan. Tanda yang mengindikasikan Gumicik sebagai pemukiman warga Cina adalah pola pemukiman. “Warisan tata letak atau site plan Banjar Gumicik menunjukkan keteraturan sebagai kota satelit pada masa lalu,” lanjut Puja Tresna.

Pola pemukiman teratur sedemikian rupa, antar gang dengan gang lain saling terhubung. Tidak ada gang buntu, namun terhubung secara sirkulasi. Gang buntu  hanya mengarah ke angkul-angkul atau pintu masuk pekarangan. Selebihnya saling menyambung. Setiap gang  dibuat lebar, minimal dua meter, tidak kurang.

Pola saling terhubung antar gang dengan lebar yang sudah terpatok tentu bukan kebetulan. Semua dengan   perencanaan matang para tetua zaman ilu (dulu,ed). “Kira -kira cukup untuk menarikan Barong Sai dan membawa perlengkapannya. Itu kemungkinan logikanya,” ujar Puja Tresna, menunjuk Tari Barong Sai, salah satu dari bentuk kesenian atau budaya Tionghoa.

Lantas mengapa komunitas warga etnis Tionghoa menghilang dari Gumicik, menurut dia, tentu karena setiap komunitas tak luput dari dinamika dan perkembangan zaman, baik secara sosial, ekonomi, dan lainnya. Antara lain, perpindahan warga Tionghoa sehubungan berdiri dan berkembangnya Kerajaan Sukawati, sekitar tahun 1710. Karena kepentingan berdagang, warga keturunan Tionghoa di Gumicik pindah dan menetap di ibukota kerajaan Sukawati. Di tempat itu, mereka beranak cucu atau berketurunan. Tidak  ada yang balik ke Gumicik.

Namun demikian kuburan warga etnis Cina masih ada di Desa Ketewel. Kuburan tersebut berdampingan dengan Setra Desa Adat Ketewel. Saat warga etnis Tionghoa masih di Gumicik, kuburannya diperkirakan berada di sebelah timur Banjar Gumicik, yakni sekitar Banjar Kubur sekarang.

Kata Puja Tresna, asal-usul nama Banjar Kubur pun menurut penuturan pangelingsir di Desa Ketewel, karena di sekitarnya merupakan lokasi kuburan tempo doeloe  warga etnis Tionghoa. Bagi warga Gumicik sendiri, tegas dia, asal-usul Gumicik menjadi spirit untuk berefleksi ke depan. “Kalau menyimak sejarah dan fakta yang ada kini, konotasi ‘gumin encik’ kan dapat juga menjadi ‘gumi becik’ (wilayah yang baik),” ujar Puja Tresna.

Salah satu penerapannya, menurut dia, komitmen  masyarakat yang secara bersama-sama menjaga lingkungan Gumicik agar tetap apik. “Tidak boleh membuang limbah atau comberan ke jalanan,” ungkap Puja Tresna. Limbah rumah tangga harus selesai di rumah tangga. Dulu, dengan membuat bangbang (galian pembuangan), sekarang dengan membuat septic tank bahkan biopori (drainase air hujan ke dalam tanah).

Selain penanganan limbah, penataan telajakan agar tetap hijau. Tiap pekan dilaksanakan gotong royong untuk menata lingkungan, terutama wajah banjar. Mulai dari mencukur rumput di bahu jalan, merawat tanaman sampai memungut sampah plastik baik di sekitar jalan raya dan pekarangan warga. ”Itulah kira-kira yang saya maksud ‘gumicik’ itu representatif dengan makna gumi becik,” ujar Puja Tresna.*nata

Komentar