nusabali

Melepasliarkan Tukik, Wisata ‘New Experience’ di Kota Denpasar

  • www.nusabali.com-melepasliarkan-tukik-wisata-new-experience-di-kota-denpasar

DENPASAR, NusaBali.com –  Di tengah banyaknya daya tarik wisata yang ada di Bali, terdapat wisata alternatif untuk warga Kota Denpasar dan sekitarnya. Wisata alternatif ini menawarkan new experience atau pengalaman baru melakukan pelepasliarkan tukik atau anak penyu.

“Masyarakat kami berikan kesempatan untuk ikut melepasliarkan tukik yang sudah siap untuk dilepas” demikian ujar I Made Sukanta, Pengelola Pusat Konservasi dan Pendidikan Penyu (Turtle Conservation and Education Center/TCEC), Sabtu (22/5/2021). TCEC adalah lembaga konservasi di kawasan Pulau Serangan yang rutin mengadakan pelepasliaran tukik. 

Adapun jadwal pelepasliaran tukik biasanya dimulai bulan Mei sampai September setiap tahunnya. “Itu karena secara alami tukik menetas dari bulan Mei sampai sekitar September. Penyu kan bertelurnya sekitar bulan Februari sampai Juli, terus mengeramnya sekitar dua bulan atau 45-65 hari,” jelas Sukanta yang telah bergabung dengan TCEC sejak didirikan tahun 2006 tersebut.

Pelepasliaran tukik pun terjadwal, seperti pada Minggu (23/5/2021) dilakukan pelepasliaran 100 ekor tukik di Pantai Serangan. Lalu pada 3 Juni 2021 dijadwalkan di Pantai Sanur (Pantai Karang). “Dalam satu bulan bisa sampai 15-20 kali mengadakan pelepasliaran tukik, baik di Pantai Serangan maupun pantai lainnya di Bali,” ujar lulusan SMK  berusia 39 tahun tersebut.

Sebelumnya pria yang membawahi belasan pegawai tersebut menyebutkan bahwa terdapat tiga jenis penyu yang ada di pusat konservasinya, yaitu penyu hijau (Chelonia midas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea). “Yang paling langka memang penyu hijau, tapi sebenarnya semua penyu statusnya dilindungi,” jelasnya. 

Cara membedakan yang paling mudah ketiga jenis penyu tersebut menurutnya dengan melihat jumlah sisik tengah cangkangnya. “Penyu hijau ada 5, penyu sisik ada 7, sedangkan penyu lekang ada 6,” terangnya. 

Adapun yang dilepasliarkan pada Minggu (23/5/2021) adalah penyu jenis lekang, karena penyu ini banyak bertelur di pantai Bali. Tukik yang dilepasliarkan ini merupakan hasil penetasan dari pengeraman telur selama kurang lebih dua bulan. 

Setelah tukik menetas, rutinitas sehari-hari Made Sukanta dan stafnya dalam merawat tukik adalah membersihkan kolam dan memberi makan dua kali sehari, pagi dan sore. “Makan dua kali, pagi dan sore, makannya ikan,” tuturnya. 

Di lokasi seluas 2,4 hektare tersebut Made Sukanta dan stafnya selain merawat tukik, juga melakukan perawatan penyu yang terluka akibat memakan plastik di laut ataupun terkena perangkap. “Penyu yang dirawat itu banyak yang kakinya harus diamputasi. Yang paling besar ini umurnya sekitar 30 tahun, ujarnya sambil menunjuk penyu hijau yang kaki kanannya putus dan ukurannya paling besar di sana. 

Dirinya pun menambahkan kalau penyu dapat hidup sampai 100 tahun dan merupakan spesies yang sudah ada dari zaman purba. 

Lebih lanjut Made Sukanta menjelaskan seluruh stafnya saat ini bekerja dalam kapasitas sebagai sukarelawan. “Selama pandemi seluruh staf sifatnya sukarelawan tidak digaji, tapi tidak semua bekerja ke sini, yang sedang sempat saja,” ungkapnya. 

Memang selama pandemi pengunjung menurun drastis yang mengakibatkan pusat konservasi milik Desa Adat Serangan tersebut mengalami kesulitan finansial.  “Sebelum pandemi biasanya 200-300 wiatawan datang setiap hari, itu 60 persennya tamu asing. Tapi sekarang, hari biasa rata-rata 5 orang, tapi kalau hari minggu bisa sampai 16 orang, itu kebanyakan tamu lokal,” ujarnya. 

Dirinya pun menambahkan tidak memungut retribusi jika berkunjung ke TCEC. “Sifatnya donasi, kami menyediakan kotak untuk menerima berapa pun jumlah yang diberikan,” tuturnya.

Made Sukanta menuturkan selain ikut melepasliarkan tukik dan melihat proses pemeliharaan penyu, pengunjung juga dapat membeli souvenir sebagai kenang-kenangan. Souvenir ini dibuat oleh para stafnya yang dipelajari ketika pusat konservasi ini mulai dibangun. ”Para staf di sini yang dulunya nelayan, diajarkan membuat kerajinan penyu yang terbuat dari batok kelapa untuk mendapatkan penghasilan tambahan,” ujarnya.  

Sementara itu salah seorang staf TCEC, I Made King, 43, yang ditemui di tempat yang sama mengaku dirinya tetap semangat bekerja untuk merawat tukik dan penyu di TCEC meskipun saat ini berstatus sebagai sukarelawan. “Saya ingin menjaga kelestarian penyu supaya tetap hidup.” ujarnya. 

Dirinya menambahkan kalau memiliki tugas dalam proses pengeraman dan penetasan telur. “Tugas utama saya pengeraman dan penetasan, kalau itu sudah selesai saya bantu pekerjaan lainnya,” tegas pria yang juga mampu membuat souvenir penyu dari batok kelapa tersebut. *adi

Komentar