nusabali

Memahami di Balik Suatu Perayaan

  • www.nusabali.com-memahami-di-balik-suatu-perayaan

Di balik rekursifnya atau berulangnya suatu perayaan, ada hal penting yang kurang memeroleh pemahaman.

Misalnya, Hari Nasional Kartini selalu riuh dirayakan oleh kaum perempuan, berbagai acara digelar, lomba dan forum diskusi diselenggarakan untuk meneladani nilai-nilai R A Kartini. Hal demikian lumrah, tidak ada yang salah! Tetapi, apakah ada yang luput dari khimadnya perayaan tersebut? Misalnya, bagaimana karakter asali seperti kesederhanaan, tanggungjawab moral, etos berjuang, dan lainnya dapat ditanamkan sejak usia dini di keluarga selingkung, pendidikan usia dini, orang dewasa , anak pria dan wanita, lintas ras-agama-suku?

Lebih-lebih bagaimana mengaktualisasi hal-hal yang berkait dengan afeksi, kognisi, dan konasi moral? Generasi milenial ditengara tidak atau kurang memiliki lanskap memori tentang masa RA Kartini. Sehingga, mereka tidak mampu atau akan menemui kesulitan memersepsikan nilai, norma, etika, maupun moralitas itu dengan baik dan benar.    

Demikian halnya, krama Hindu Bali dalam melaksanakan acara keagamaan. Hampir semua ‘acara agama Hindu’ diulang dengan konsisten, benar dan baik, semisal ‘kajeng kliwon’, ‘purnama-tilem’, ‘Pagerwesi-Saraswati’, atau ‘Galungan-Kuningan’ dan sebagainya.  Semua berjalan sesuai dengan tradisi adiluhung. Tetapi, apakah ada peluang untuk memahami makna terdalam yang mungkin tersembunyi  di balik semua acara tersebut? Apakah rekursi acara agama bisa beranjak lebih luas dan mendalam ke ‘dinamisasi beragama’? Sederhananya, beragama dinamis bermakna optimasi acara agama sebagai solusi terhadap suatu masalah.

Misalnya, ‘acara siwa ratri’ dioptimasi menjadi solusi terhadap narkoba, perkosaan, bunuh diri, perseteruan antar geng, dan sebagainya. Demikian juga, perayaan ‘Galungan-Kuningan’, kemenangan ‘dharma’ atas ‘adharma’  digunakan untuk menafikan perilaku berbohong, minum miras, mabuk-mabukan, berkata kasar, atau berbuat asusila.

Demikian juga, perayaan hari suci Saraswati, momentum lahirnya ilmu pengetahuan, ‘para-vidya’ dan  ‘apara-vidya’. Rekursi perayaan lahirnya ilmu pengetahuan seharusnya tidak menisbikan bentuk dan fungsi kebenaran. Kalau itu terjadi, maka netralitas beragama akan amat terganggu! Ilmu pengetahuan semestinya berafiliasi pada obyektivitas, kritis dan sistematis, tidak bercampur dengan berbagai doktrin sepihak.

Kebenaran beragama sering ditafsirkan secara deterministik. Menurut Frederic Le Play, seorang insinyur pertambangan dan sosiolog berkebangsaan Perancis, berpandangan bahwa kebenaran beragama sering ditingkahi sebagai mono-kausal, hanya ada satu faktor tunggal yang menyebabkan perubahan. Penafsiran demikian sering memicu konlfik atau sikap fundamentalis. Kebalikan dari determinisme adalah non-determinisme, kehendak bebas menurut tafsir sendiri. Polarisasi ini memilah pandangan menjadi dua kutub, satu berpihak pada konservatisme dan satunya bertumpu pada rasionalisme. Mana yang pasti benar ? Menurut hipotesis Sapir-Whorf, keduanya relatif, baik untuk satu pihak belum tentu benar bagi piahk lainnya! Menurut hipotesis ini bahwa pikiran dan keyakinan seseorang ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa yang digunakan !

Kita kembali ke tema sentral tulisan, yaitu makna terdalam suatu aksi yang harus dimengerti berdasarkan atas kejujuran. Kejujuran merupakan nilai dasar yang lebih penting dari kecerdasan! Rekursi atau pengulangan tidak seharusnya menidurkan inisiasi untuk menjalankan kebenaran bukan kenistaan, kemurnian pikiran bukan kekotoran nurani, sopannya perkataan bukan kekalutan bicara, dan sebagainya. Dalam majas atau gaya bahasa, repetisi amat khas mengulangi kata atau frase. Fungsinya adalah untuk memeroleh efek tertentu. Kelemahannya, repetisi kata atau frase menunjukkan kekurang-mampuan memariasikan satuan lingual. Analog dengan majas, pengulangan dalam merayakan menunjukkan ketidak-mampuan menelusur makna filosofis, religius, konstruksi moral dan sebagainya. Sedapat mungkin, jumlah repetisi dapat menemukan otot keyakinan terhadap kegiatan yang diulang tersebut sehingga tidak bermuara pada rutinitas. Semoga !

Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.

Komentar