nusabali

Ungkap Perlawanan, Dewi Pradewi Luncurkan Buku 'Tato Perempuan Bali'

  • www.nusabali.com-ungkap-perlawanan-dewi-pradewi-luncurkan-buku-tato-perempuan-bali

DENPASAR, NusaBali
Artis penyanyi Pop Bali, Putu Dewi Ariantini SE MSi, 34, meluncurkan sebuah buku berjudul ‘Tato Perempuan Bali, Jumat (30/4).

Buku yang diluncurkan penyanyi yang akrab dipanggil Dewi Pradewi tersebut merupakan hasil rekonstruksi karya tesisnya berjudul ‘Konstruksi Stigma pada Perempuan Bali Bertato di Kota Denpasar’, saat menyelesaikan Pendidikan Magister Kajian Budaya Universitas Udayana tahun 2019.

Dewi Pradewi sendiri kini tampil dengan gaya tato seluruh badan, mulai area punggung hingga kedua lengan dan tangannya. Sejak 5 tahun terakhir, tato menjadi bagian integral dari identitasnya. Dewi Pradewi mengakui, dengan identitas tato yang melekat di tubuhnya, kini sebagian orang justru mengenali dirinya sebagai perempuan bertato.

“Beberapa teman saya pernah menyampaikan, ketika menyebut nama Dewi Pradewi, orang-orang seperti melupakan ‘Bungan Tresna’, salah satu judul lagu yang pernah mempopulerkan saya di blantika musik Pop Bali. Sekarang justru lebih banyak mengenali saya sebagai Dewi perempuan yang bertato,” tutur Dewi Pradewi seusai peluncuran buku ‘Tato Perempuan Bali’, di Tha Magendra Café, Jalan Teuku Umar Barat Denpasar, Jumat lalu.

Dewi Pradewi menceritakan, ketertarikannya dengan tato berawal dari searching hair tato di internet. Namun, yang muncul tidak hanya hair tato, tetapi juga perempuan bertato. Dewi Pradewi pun tertarik melihat perempuan bertato yang menurutnya seksi. Menurut Dewi Pradewi, ada semacam ekspresi keindahan yang dirasakan oleh si pemilik tubuh.

“Setelah saya tato di bagian punggung, ternyata jadi seksi sekali saat difoto. Di situ ada kepuasan dalam diri saya. Jadi, ini bukan karena sedang frustrasi. Saya memandang ini adalah karya seni yang diekspresikan. Karena tato saya ini ada konsepnya (filosofi, Red),” tutur penyanyi kelahiran 12 Januari 1987 asal Banjar Pemeregan, Kelurahan Pemecutan, Denpasar Barat ini.

Terlepas dari kepuasan yang diperoleh dengan bertato, Dewi Pradewi menyadari ada sisi gelap perempuan bertato di mata masyarakat. Hal itu dialaminya sendiri. Misalnya, Dewi Pradewi pernah beberapa kali diminta oleh orang-orang yang mengundangnya menyanyi untuk berbusana tertutup, agar tatonya tidak kelihatan. Namun, sebagian orang lagi justru meminta Dewi Pradewi agar tidak menutupi tato saat menerima job manggung.

“Stigma sebagai wanita nakal dan berandalan cenderung melekat pada perempuan bertato. Ketika saya bertato, yang paling tidak setuju adalah ibu saya. Tapi, berbeda dengan bapak saya yang justru mendukung. Karena bapak saya juga bertato. Dari situ saya tertantang meneliti apa yang salah dengan perempuan bertato,” jelas Dewi Pradewi, yang kini menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali.

Dewi Pradewi menambahkan, dari tesis yang mampu diselesaikan dalam waktu yang tepat dan bahkan meraih predikat cumlaude itu, adrenalinnya pun makin terpacu untuk mengulik masalah perempuan Bali bertato. Sampai-sampai, Dewi Pradewi masesangi (berkaul) dua hal. Pertama, apabila tesisnya selesai tepat waktu, dia akan menggambari seluruh punggung dan lengannya dengan tato. Kedua, Dewi Pradewi masesangi akan menerbitkan penelitian perempuan Bali bertato ke dalam sebuah buku. Kini, dua sesangi tersebut telah dibayar lunas.

“Karya ini (buku ‘Tato Perempuan Bali’) adalah upaya atau langkah kecil sebagai gerakan emansipatoris untuk kesetaraan antara laki dan perempuan. Dalam buku ini, kita akan diskusikan bagaimana tubuh, stigma, dan perlawanan tersebut bergulat erat dalam warna warni tato perempuan Bali. Dan, tato sebagai seni dekorasi tubuh, ternyata masih menyisakan berbagai persoalan bagi perempuan Bali di tengah budaya patriarki yang keras,” jelas putri dari pasangan I Nyoman Mertayasa dan Ni Ketut Lasmini ini.

Menurut Dewi Pradewi, tulisan dalam buku ini tidak mencari salah benar, tapi jalan tengah untuk berjalan beriringan tanpa melukai hati siapa pun. Semua orang punya jalan dan cara masing-masing untuk menjadi cantik atau tampan.

“Ada yang memilih cara untuk cantik dengan pergi ke salon. Saya sendiri memilih cara cantik dengan menggunakan tato. Orang tidak salah berprasangka buruk, karena setiap orang memiliki pengalaman dan cara pandang yang berbeda untuk menanggapi segala sesuatunya,” tandas Dewi Pradewi.

Namun, Dewi Pradewi berpandangan bahwa tato harus dikembalikan pada posisinya sebagai karya seni dalam dinamika kebudayaan manusia. Meski demikian, tato juga tidak boleh dijadikan alat legitimasi kekuasaan bagi segala penyimpangan perilaku, karena dapat memperburuk citra tato di mata masyarakat.

“Karena itu, menurut saya penting bagi orang-orang yang bertato, termasuk perempuan Bali yang bertato, untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan norma dan nilai sosial. Sehingga, perlahan-lahan mengubah stigma masyarakat. Kita tetap berpegangan pada desa, kala, patra,” katanya.

Sebagai kelanjutan buku ‘Tato Perempuan Bali’ ini, dibuat juga karya film berjudul ‘Dua Sisi’ yang disutradarai oleh Puja Astawa. Film tersebut juga diambil dari isi buku ‘Tato Perempuan Bali’, agar lebih mudah diartikan dan diterima oleh masyarakat. Ada pun pendukung film ini, antara lain, Dewi Pradewi, AA Raka Suteja, Gede Purnama Jaya, Puja Astawa, Ayu Gayatri, DoDok, Gede Setiawan, Jun Bintang, Ketut Sila, Gung Edi LaNyak Yoni, Diani, dan Wayan Sudiantara.

Tokoh yang diceritakan di awal film ini adalah yang ‘terstigma’ yaitu Kadek, anak perempuan bertato yang diberi stigma oleh ayahnya sendiri, Pak Mangku. Namun, penyesalan berbalik, ketika yang terstigma berhasil menjalankan hidupnya dengan tetap berpegang pada nilai-nilai kebaikan. Menurut Dewi Pradewi, film ‘Dua Sisi’ ini akan tayang di Gedung Dharma Negara Alaya Lumintang, Denpasar Utara, Jumat (7/5) sore pukul 15.00 Wita nanti.

“Film ini tidak ingin mencari salah benar, tapi referensi atau solusi dalam kita mengambil sikap. Saling menghargai dan tidak semua hal harus sesuai keinginan kita. Baik buat kita, belum tentu baik buat mereka,” tandas Dewi Pradewi. *ind

Komentar