nusabali

Operator Bus Minta Insentif

  • www.nusabali.com-operator-bus-minta-insentif

Sebagai bentuk kompensasi akibat larangan mudik dari Pemerintah

JAKARTA, NusaBali
DPP Organisasi Angkutan Darat (Organda) mengusulkan kepada pemerintah pemberian insentif pada sektor angkutan umum sebagai dampak larangan mudik Lebaran 2020 pada 6-17 Mei mendatang. Tujuannya, untuk meringankan beban mereka yang berdarah-darah akibat pandemi covid-19.

Ketua Umum DPP Organda Adrianto Djokosoetono mengatakan ada dua jenis insentif yang diusulkan. Pertama, bantuan langsung kepada awak kendaraan, mulai dari sopir hingga kondektur. Pasalnya, sebagian besar mereka adalah pekerja harian.

Kedua, insentif bagi operator bus agar beban usahanya berkurang. Alasannya, meskipun mudik dilarang namun mereka tidak bisa menghindari biaya operasional yang tetap keluar seperti perawatan, onderdil (sparepart), dan gaji pekerja.

"Paling besar tentunya kredit yang dimiliki pengusaha operator bus, kalau kredit tidak bisa kami mengarah kepada kredit murah untuk modal kerja. Saat ini, kami masih tahap diskusi sekarang dengan Kemenhub dan Kemenko Perekonomian," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (16/4).

Ia menuturkan tekanan pada operator bus belum bisa dibilang pulih, meskipun mobilitas masyarakat sudah berangsur kembali secara perlahan. Secara rata-rata operasional armada dan okupansi berada di posisi 50 persen sampai 60 persen saat ini dengan mulainya mobilitas masyarakat. Namun, angka itu tidak bisa dipatok merata setiap daerah.

"Rentangnya lebar (setiap daerah) tergantung dari jenis angkutan dan daerah operasinya juga. Misalnya, pariwisata itu masih di bawah 10 persen, tapi AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi) di Maluku atau sebagian Sumatera sudah 70 persen-80 persen karena di zona hijau," tuturnya.

Namun, ia mengaku DPP Organda belum memiliki angka perhitungan kerugian maupun potensi kerugian operator bus akibat larangan mudik. Yang pasti, kata dia, larangan mudik akan berdampak pada kemampuan perusahaan mencicil kredit usaha di perbankan.

"Tapi intinya kalau dua minggu dilarang, berarti kemampuan bayar cicilan pokok dan bunga selama dua minggu itu hilang, padahal beban lain tetap jalan, perawatan karyawan dan sebagainya tetap jalan," jelasnya.

Sementara itu, ia mengaku operator bus belum membahas mengenai kemungkinan kenaikan tarif alias tuslah pada perjalanan sebelum larangan mudik, atau sebelum 6 Mei. Sebab, pembicaraan mengenai tuslah harus melibatkan Kementerian Perhubungan. Namun, ia memprediksi terjadi pergerakan masyarakat yang pulang kampung atau mudik sebelum tanggal larangan.

"Belum ada keputusan di situ (tuslah), karena tuslah kenaikan tarif biasanya dilakukan pada saat mudik. Nah, kalau ini mudiknya bergeser, apakah kebijakan tuslah mudik bisa bergeser juga, kami belum tahu. Tapi, tetap itu belum cukup untuk tutupi kebutuhan operasional," jelasnya. *

Komentar