nusabali

Pasangan Pengantin Baru Mendapat Jotan Tumpeng

Tradisi Ritual Saat Galungan di Sengguan Kelod Kangin, Kelurahan Gianyar

  • www.nusabali.com-pasangan-pengantin-baru-mendapat-jotan-tumpeng

GIANYAR, NusaBali
Sejumlah desa adat di Bali melaksanakan laku tradisi unik saat Hari Raya Galungan, yang jatuh 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Buda Kliwon Dunggulan.

Salah satunya, Banjar Adat Sengguan Kelod Kangin, Kelurahan/Kecamatan Gianyar, yang melaksanakan tradisi ngejot tumpeng bagi pasangan suami istri yang baru pertama mengalami Galungan.

Dalam laku tradisi ngejot tumpeng ini, krama banjar biasanya datang silih berganti  ke rumah pasangan pengantin baru, sejak pagi saat Hari Raya Galungan. Sebagai ciri khas, di depan rumah pengantin baru ini dipasangi penjor anten. Ciri penjor anten lebih meriah dari penjor Galungan pada umumnya. Penjor anten dilengkapi dengan lamak yang panjangnya bisa sampai 3 meter.

Setelah masuk ke rumah pengantin baru, jotan tumpeng yang dibawa oleh krama banjar diterima oleh mempelai perempuan di bale dangin. Sebagai penyalin atau penukar, pengantin baru memberikan suguhan berupa sanganan jaja uli dan tape.

Kelian Banjar Adat Sengguan Kelod Kangin, I Gusti Ngurah Mangku Mantra, 65, mengatakan tradisi ngejot tumpeng kepada pasangan pengantin baru ini sekaligus sebagai ajang orientasi atau perkenalan. "Saat tumpeng diterima oleh pengantin perempuan, ada saling sapa. Ini sebagai ajang perkenalan pengantin, bahwa mereka sudah berumah tangga, mantunya telah diketahui oleh warga. Selanjutnya, mereka diajak melanjutkan adat budaya dalam mebanjaran," jelas Gusti Ngurah Mangku di Gianyar pas rahina Galungan pada Buda Kliwon Dunggulan, Rabu (14/4) lalu.

Gusti Ngurah Mangku menjelaskan, tradisi ngejot tumpeng pas Hari Raya Gakungan ini diwariskan secara turun temurun dan tetap eksis sampai sekarang. Menurut Gusti Ngurah Mangku, ngejot tumpeng ini berkaitan dengan upacara perkawinan.

“Kalau ada salah satu krama adat Sengguan Kelod Kangin ngemargiang pawidiwidanan (perkawinan) kantos nemu Galungan, ada tradisi ngejot tumpeng," jelas Gusti Ngurah Mangku.

Gusti Ngurah Mangku sudah mendapati tradisi ngejot tumpeng ini secara estafet dari tetua di Banjar Sengguan Kelod Kangin, tanpa ada bukti otentik yang tersurat pada prasasti maupun perarem. "Hanya orti (cerita) sejarah panjang, jika ada krama adat purusa (laki-laki) ajangkep rabi (menikah) nemu Galungan, wajib dapat jotan tumpeng," katanya.

Nah, mereka yang berkewajiban ngejot tumpeng kepada pasutri yang baru menikah adalah krama banjar adat. Namun, tidak menutup kemungkinan jotan tumpeng juga diberikan oleh tetangga dan keluarga dekat. "Jadi, jotan tumpeng itu tidak terbatas satu banjar saja," tandas Gusti Ngurah Mangku.

Meski di sejumlah tempat tradisi ini mulai dimodernisasi dengan ngejot beras, menurut Gusti Ngurah Mangku, Banjar Sengguan Kelod Kangin tetap melaksanakan seperti apa yang diwariskan leluhur, yakni dengan jotan berupa tumpeng. Sebab, tumpeng memiliki makna khusus. "Tumpeng itu merupakan simbol gunung. Jadi, seberapa besar dan tingginya gunung, sebesar itu pula rasa cinta kasih sayang krama sebanjar terhadap pasangan pengantin baru yang dapat tumpeng ini," jelas pensiunan PNS yang juga pamangku Pura Sada ini.

Meski demikian, tumpeng yang dibawa ke rumah pengantin baru tidak harus berukuran besar. Biasanya, tumpeng yang dibawa seukuran jengkal dalam wadah yang dilengkapi buah dan sampian tumpeng.

Menurut Gusti Ngurah Mangku, pada zaman dulu tumpeng yang dibawa dicampur dengan uyah lengis. Tumpeng dibuat khusus memakai beras Bali, sehingga rasanya lezat. Satu tumpeng bisa dinikmati minimal 4 anggota keluarga. Namun kini, tumpeng hanya simbolis saja. Terlebih saat ini, masyarakat sudah terbiasa memakai tumpeng kering yang teksturnya keras. "Kalau dulu tumpengnya dinikmati bersama keluarga, tapi sekarang simbolis saja," kenangnya.

Sementara, jaja uli dan tape sebagai penukar, tidak wajib disediakan oleh keluarga pengantin baru. "Tidak harus itu, kalau mampu bisa disediakan, tidak pun nggak apa," terang Gusti Ngurah Mangku.

Jaja uli dan tape itu sendiri memiliki makna sebagai perekat hubungan harmonis. "Ketan itu kan lengket, ibaratnya pengikat persaudaraan. Tape itu rasanya manis, dengan harapan ikatan yang sudah terjalin ini berbuah manis seperti rasa tape," katanya sembari menyebut untuk Galungan kali ini, terdapat 8 pasangan pengantin baru yang mendapat jotan tumpeng di Banjar Sengguan Kelod Kangin.

Namun, tidak semua pasangan pengantin baru mendapat joten tumpeng saat Galungan. Menurut Gusti Ngurah Mangku, ngejot tumpeng ini pantang bagi pasutri yang baru melahirkan dan bayinya belum tutug beratan (42 hari). "Karena dianggap masih sebel (cuntaka), sehingga ngejot tumpeng ke rumah pengantin baru seperti ini ditiadakan."

Karena memen ngejot tumpeng pun hanya berlaku satu kali pada Galungan pertama, maka pasutri yang sebel otomatis selamanya tidak dapat melaksanakan tradisi ini. "Ngejot tumpeng tidak bisa diulang pada Galungan berikutnya,” beber Gusti Ngurah Mangku. *nvi

Komentar