nusabali

Galungan Covid-19 Pertajam Mulat Sarira

  • www.nusabali.com-galungan-covid-19-pertajam-mulat-sarira

Umat Hindu Bali dapat memilih dan memilah tingkatan upacara. Memilih sesuai dengan kemampuan, dan memilah untuk menentukan yang benar berdasarkan jiwa sanubari.

PERAYAAN Galungan, Buda Kliwon, Dungulan, Rabu (14/4) nanti, menjadi momen paling khas di antara Galungan-Galungan, sebelumnya. Karena Galungan kini mesti dirayakan dalam kondisi umat Hindu di Bali sedang dilanda Covid-19  hingga berakibat krisis ekonomi parah.

Bagaimana mesti menyikapi Galungan pandemi?  Secara Hindu Bali, takaran pelaksanaan upacara terbagi dalam tiga tingkatan ; nista, madya, dan  utama. Ketiganya diperinci lagi menjadi tiga bagian. Tingkat nista terdiri dari nistaning nista, nistaning madya, dan nistaning utama. Tingkatan madya yakni madyaning nista, madyaning madya dan, madyaning utama. Demikian juga untuk  pelaksanaan tingkat utama, bisa melaksanakan dengan nistaning utama, madyaning utama, dan utamaning utama.

Dengan tingkatan ini, umat Hindu Bali dapat memilih dan memilah tingkatan upacara. Memilih sesuai dengan kemampuan, dan memilah untuk menentukan yang benar berdasarkan jiwa sanubari atau atmanastuti.

“Karena umat Hindu di Bali khususnya, juga dalam bingkai NKRI, maka apa pun ketentuan pemerintah wajib kita patuhi,” ujar Ketua Widya Sabha Kabupaten Gianyar I Gusti Made Agus Susana, Sabtu(10/4).

Penekun sastra Bali asal Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar ini, menegaskan kalau ada seruan di desa adat magalung cukup dengan ngubeng atau dari rumah, silahkan.  Demikian juga sebaliknya. “Magalung ini tentu dengan protokol kesehatan,” ujarnya.

Gusti Agus Susana pun mengiyakan ‘pengendalian’ magalung terkait pandemi, juga merupakan upaya perjuangan memenangkan dharma. “Marilah kita merayakan Galungan (memperjuangkan dharma) setiap hari,” ajaknya. Karena dharma merupakan sarana untuk mencapai ketenangan. “Dharmatam kamoksanam sariram sadhanam, dharma dan artha dan kama sebagai sarana badan mencapai ketenangan,” jelasnya.

Hal senada, Ketua PHDI Bangli I Nyoman Sukra, mengiyakan dampak pandemi berimbas pada ‘kemeriahan lahiriah’ Galungan. Namun justru pandemi inilah menurut Sukra sebagai momen untuk menajamkan makna mulat sarira. “Jangan karena pandemi rered sradha bakti,” ujar tokoh agama dari Banjar Blungbang, Kelurahan Kawan, Bangli ini.

Nyoman Sukra menganalogkan, pandemi Covid-19 ini sebagai representasi dari Sang Kala Tiga, dalam perjuangan menegakkan dharma. Menurutnya, konsep nista madya utama, maupun desa kala dan patra, sudah menjawab bagaimana krama Bali merayakan Galungan pada masa pandemi. Kalau memang tidak mampu membuat sarana (yadnya) yang besar, jangan memaksa membuat persembahan banten yang besar. Demikian perlengkapan lainnya seperti penjor. *NATA

Komentar