nusabali

MUTIARA WEDA: Laya

Upāyena nigrhniyād-viksiptam kāma-bhogayoh, Supra-sannam laye caiva yathā kamo layas-tathā. (Gaudapada Mandukya Karika, III.42)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-laya

Pikiran yang dikacaukan oleh keinginan dan kenikmatan sebagaimana juga pikiran menikmati nikmatnya ‘trance’ mesti dibawa ke dalam disiplin sempurna dengan membangunkannya melalui saluran yang tepat. Kondisi trance maupun agitasi keinginan sama-sama berbahaya.

Secara umum teks menyebutkan bahwa berbagai keinginan dan kenikmatan duniawi adalah halangan terbesar dalam meraih pembebasan. Pikiran yang tidak terlatih akan secara terus-menerus mengarah pada kenikmatan duniawi. Bahkan, bagi mereka yang telah tekun melaksanakan sadhana pun, keinginan ini sering menghampirinya tanpa diundang. Pikiran yang terus-menerus dilalui oleh keinginan akan mengalami penderitaan. Semakin intens keinginan tersebut lalu lalang, semakin besar derita yang dirasakannya. Oleh karena itu, pikiran harus didisiplinkan secara sempurna guna melenyapkan keinginan-keinginan yang lalu lalang itu. Ketika pikiran terkendali dengan sempurna, maka keinginan-keinginan tersebut tidal lagi membebaninya.

Namun, pikiran yang telah terbebas dari keinginan pun belum cukup untuk mencapai pembebasan sempurna. Gaudapada menyatakan bahwa rintangan yang justru lebih susah untuk diatasi adalah ketika pikiran masuk ke dalam sebuah kondisi yang disebut dengan ‘laya’. Saat meditasi, pikiran yang telah terlepas dari ladang objeknya terjatuh ke dalam jurang kebodohan atau ‘spiritual sleep’. Laya secara teknis dalam bahasa Sanskerta berarti ‘tidur.’ Dalam praktik meditasi yang mendalam, ada sebuah situasi dimana pikiran melebur ke dalam prakrti. Dalam Yoga Sutra Patanjali ada istilah prakrti laya. Prakrti laya adalah sebuah kondisi dimana seseorang telah melampaui jenis Samprajnata Samadhi, tetapi belum mencapai Asamprajnata Samadhi. Ia telah berada pada titik akhir dari bija Samadhi, tetapi belum melompat ke dalam Nirbija Samadhi. Terminologi lain dari arti laya disini adalah ‘trance’.

Seorang sadhaka bisa terjebak ke dalam kondisi laya ini, menikmati suasananya dan melupakan perjalanannya. Ada kedamaian besar yang dirasakan di dalam laya ini, tetapi pengalaman itu bersifat non sadar, sehingga pikiran harus dibangunkan kembali dan melanjutkan perjalanan sampai mencapai titik terakhir. Dalam meditasi, orang mampu melenyapkan semua keinginan-keinginan yang menggelayutinya, tetapi pikiran itu sendiri jika kurang awas akan terjatuh ke dalam laya, tertidur. Agar titik akhir dicapai, pikiran harus dibangunkan. Dilemanya ada disini. Ketika bangun, pikiran kembali bercabang, apakah kembali ke arah keinginan-keinginan atau melanjutkan perjalanannya. Agar pikiran tidak terjatuh ke dalam keinginan-keinginan kembali, maka teks di atas menyarankan tentang pentingnya disiplin yang sempurna dan alat (atau chanel) yang tepat.

Jadi, keinginan (kama), dan spiritual sleep (laya) adalah rintangan dalam meraih pembebasan sejati. Gaudapada memberikan teknik disebut ‘asparsa yoga’ – yoga ketidakterikatan sempurna – guna mengatasi kedua rintangan ini. Pikiran harus dilatih untuk tidak terikat dengan segala bentuk kenikmatan objektif maupun kenikmatan dari kedamaian non sadar. Keinginan-keinginan dan kenikmatan duniawi lebih mudah dikenali karena bersentuhan dengan indriya. Dengan tidak terikat terhadap segala jenis kenikmatan dari objek-objek indriya, asparsa yoga tahap awal bisa diraih. Ketika terbebas dari lalu lalang keinginan, pikiran menjadi tenang, hening dan damai. Namun, jebakan baru menanti, yakni pikiran yang hening tersebut mudah terjatuh ke dalam tidur (laya). Tidak terikat dengan pikiran yang tidur ini lebih susah dikerjakan. Pikiran yang penuh keinginan sangat aktif, tetapi ketika laya, pikiran menjadi pasif.

Bagaimana cara membangunkannya? Bagaimana asparsa yoga disini bisa bekerja? Agar yoga ketidak-terikatan ini bisa bekerja, maka viveka diperlukan. Melalui viveka, pikiran diajak untuk mengenali mana yang nyata dan mana yang tidak nyata, mana keadaan tidur dan yang mana kesadaran. Melalui diskriminasi ini, pikiran yang terjatuh ke dalam laya bisa dibangunkan dan kemudian didisiplinkan kembali secara sempurna. Pikiran yang telah terkendali tersebut kemudian diarahkan ke chanel yang tepat sehingga capaian akhir bisa diraih. Apa chanel yang tepat itu? Konsisten merefleksikan Brahman yang abadi itu adalah chanel yang tepat. Jadi, setelah pikiran dibangunkan, ia harus segera berada di dalam kendali secara sempurna. Jika tidak dikendalikan, memori masa lalu berupa keinginan-keinginan langsung memenuhinya. Agar memori itu tidak bekerja, maka refleksi kehadapan Brahman harus secara konsisten dikerjakan.*

I Gede Suwantana

Komentar