nusabali

Dokter Penipu Divonis 2 Tahun 10 Bulan

  • www.nusabali.com-dokter-penipu-divonis-2-tahun-10-bulan

Terdakwa dr Irfana terbukti bersalah melakukan tindak pidana penipuan yang mengakibatkan korban yang juga dokter mengalami kerugian Rp 1,5 miliar.

DENPASAR, NusaBali

dr Irfana, 42, yang jadi terdakwa dalam kasus penipuan rekannya sesama dokter dengan kerugian Rp 1,5 miliar dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun dan 10 bulan dalam sidang online yang digelar Kamis (25/3). Pasca putusan, dokter yang berdomisili di Klungkung ini langsung menyatakan menerima.

Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan terdakwa dr Irfana terbukti bersalah melakukan tindak pidana penipuan yang mengakibatkan korban yang juga dokter mengalami kerugian Rp 1,5 miliar. Atas perbuatannya, dr Irfana dijerat Pasal 378 KUHP tentang penipuan. “Terdakwa dr Irfana dijatuhi hukuman 2 tahun dan 10 bulan penjara,” ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Agus Adnyana Putra usai sidang.

Sebelumnya, JPU Agus Adnyana melayangkan tuntutan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan (3,5 tahun) terhadap terdakwa dr Irfana. "Atas putusan majelis hakim itu, kami jaksa masih pikir-pikir. Kalau terdakwa langsung menerima," terangnya.

Dalam dakwaan dibeberkan, kasus ini berawal saat korban Elizabeth mengunjungi rekannya sesama dokter yaitu dr Argya Ayu Perwitasari yang baru saja melahirkan. dr Argya ini merupakan istri dari terdakwa dr Irfana. Saat berbincang, dr Argya menawarkan korban untuk bisa masuk spesialis kedokteran kulit di FK Unud. Terdakwa juga meyakinkan korban dengan mengatakan punya banyak kenalan di Universitas Airlangga, Universitas Indonesia, dan Unud. “99 persen berhasil (jadi dokter spesialis), 1 persen kita serahkan kepada Tuhan,” ujar terdakwa dalam dakwaan yang dibacakan Putu Agus Adnyana Putra.

Karena tertarik, korban dan ibunya mendatangi rumah terdakwa di Klungkung pada 25 Juli 2018. Saat itu, terdakwa meminta uang Rp 2 miliar untuk bisa masuk kuliah di spesialis kedokteran kulit di FK Unud. “Waktu itu korban menawar dan disepakati Rp 1,5 miliar,” jelas JPU.

Keesokan harinya, terdakwa minta uang Rp 50 juta untuk tanda jadi. Tanpa ragu, korban langsung mentransfer uang tersebut. Selanjutnya korban kembali membayar Rp 450 juta kepada terdakwa. Hingga pada September 2018, terdakwa mendatangi rumah korban di Jakarta untuk meminta kekurangan uang Rp 1 miliar.

Saat itu, terdakwa kembali meyakinkan korban bisa membantunya masuk ke FK Unud spesialis kulit. Karena percaya, korban mentranfser uang ke rekening terdakwa secara bertahap hingga 12 kali dalam beberapa hari. Untuk meyakinkan korban tidak ditipu, terdakwa menyerahkan dua lembar cek BCA masing-masing senilai Rp 500 juta di rumah  korban di Jakarta. “Kamu tenang saja, uangmu tidak saya pakai dan hanya sebagai jaminan. Cek ini sebagai jaminan yang bisa dicairkan pada H+1 dan pasti ada dananya,” imbuh terdakwa berusaha meyakinkan.

Pada 28-30 Oktober 2018, korban mengikuti seleksi penerimaan  mahasiswa  baru spesialis kedokteran kulit di Fakultas Kedokteran Unud. Namun, pada saat pengumuman 9 November 2018, nama saksi korban tidak muncul sebagai mahasiswa yang diterima mengikuti kuliah pada spesialis kedokteran kulit di Fakultas Kedokteran Unud. Korban pun merasa ditipu oleh terdakwa.

Selanjutnya, pada 10 November 2018 korban menelepon untuk mencairkan  cek yang sebelumnya diberikan oleh terdakwa. Namun, terdakwa menyebut cek tersebut sudah kedaluwarsa pada tanggal 16 November 2018. Menariknya, meski tak dapat memenuhi janjinya, terdakwa tetap percaya diri datang ke rumah saksi korban di Jakarta dan menyerahkan empat lembar cek BCA. Tiga lembar cek  masing-masing senilai Rp 500 juta dan satu lembar cek senilai Rp 15 juta. Jatuh tempo ke empat lembar cek tersebut pada Desember 2018. Namun, setelah bulan Desember 2018 keempat lembar cek tersebut dicairkan karena tidak ada dananya. Korban pun memilih melaporkan kasus ini ke Polresta Denpasar. *rez

Komentar