nusabali

Seni, Ilmu, dan Agama

  • www.nusabali.com-seni-ilmu-dan-agama

TERKESIMA menyimak rima makna ‘kawan, teman, dan sahabat’ pada kalender Bali yang disusun I Ketut Bambang Gde Rawi.

Selengkapnya berbunyi: ‘Seni adalah kawan. Ilmu adalah teman. Agama adalah sahabat’. Setelah dikonstruksi, satuan leksikal dasar dan abstrak ini mengandung makna dalam. Leksem ‘kawan, teman, dan sahabat’ mengandung perbedaan arti. Hendry Kusuma menyebut makna ‘kawan’ adalah seseorang yang ada ketika sedang merasa senang atau bahagia. Sejalan dengan pemaknaan tersebut, seni memang dapat memberikan kesenangan dan kegembiraan, baik kepada penciptanya maupun penikmatnya. Seni tidak harus dikomodifikasi, atau diglokalisasi kearifan lokal yang bisa meraup keuntungan material.

Seni juga dapat membebaskan ekspresi dan emosi dalam penciptaannya. Keutamaan seni tergantung jenisnya, ada seni rupa, gerak, musik, pertunjukan, maupun sastra. Selain sebagai keyakinan, seni diutamakan sebagai hobi atau pengasahan dan pengasuhan otak. Berkarya seni akan meningkatkan kemampuan kognitif dan ingatan seseorang. Menghasilkan karya seni akan meningkatkan produksi endorphin dan mengurangi stres dan depresi. Ketika rasa cemas berlebihan, maka berbagai ikutan efek negatif terjadi pada tubuh dan jiwa. Berkarya seni akan merangsang dan membangunkan otak sebelah kanan secara produktif.

Kata ‘teman’ adalah nomina yang mengandung makna ‘pasangan’, misalnya: sejenis lumut yang biasa dimakan untuk teman nasi, pisang rebus dan enak untuk teman minum kopi. Bagaimana kalau ilmu pengetahuan dipilih menjadi pasangan hidup? Ilmu pengetahuan semestinya tidak dimaknai hanya sebatas mempelajari konsep dan fakta. Ilmu seyogyanya difungsikan untuk memperbaiki kehidupan, keyakinan, peradaban, dan sebagainya. Ilmu pengetahuan juga dapat dimanfaatkan untuk meminimalkan kesesatan berpikir, berkata, maupun beraksi. Menurut empat pilar UNESCO, ilmu pengetahuan harus diketahui (knowing), dipakai (doing), di-yadnya-kan (sharing), dan membentuk karakter adiluhung (being becoming).

Ilmu sebagai ‘teman’ mengajarkan kepada krama Bali untuk menjadikannya  sebagai ikatan pengabdian demi meraih ‘bhoga, upabhoga, paribhoga’.  Upaya pencarian ilmu seharusnya dimaknai sebagai ‘swadhamaning keluarga sukinah’, yang bersifat melindungi, berserah diri, memelihara, membahagiakan, dan mendermakan. Sebagai teman atau pasangan sejati, ilmu harus diperoleh secara jujur, dikiprahkan dengan menarik, adaptif dalam berbagai konteks, dipercaya karena ketulusan, serta peduli lingkungan. Sebaliknya ilmu bukan teman sejati ketika ia digunakan, antara lain, menguasai orang sewenang-wenang, tidak mempercayai tanpa alasan, melakukan pembiaran, menyiutkan nyali, menyemburi keberhasilan, dan sebagainya.

Kata ‘sahabat’ mengandung arti perilaku yang berbalasan dan reflektif. Perilaku berbalasan menekankan timbal balik, kalau ‘ia’ seperti ‘saya’ bagaimana, atau ‘saya’ menjadi ‘dia’ bagaimana, tat tvam asi – itu adalah kau? Sedangkan, reflektif dimaknai khusus sebagai berpikir penuh pertimbangan, aktif, dan kritis. Apakah agama bisa dijadikan sahabat karena ia adalah sebuah keyakinan?

Agama sebagai ‘sahabat’ tidak seharusnya diberi makna sempit, rendah atau kasar. Dalam suatu persahabatan terselip konsep kosmik, seperti, kesucian, kemurnian, ketulusan, kasih sayang kepada sesama, penerimaan tanpa prasangka, dan sebagainya. Bila direfleksikan, beragama dapat dimaknai sebagai upaya membangun persahabatan, membangun aturan penuh makna, tuntunan mengenai prinsip berkeadaban, edukasi perilaku, penyelamatan, pemahaman terhadap profanitas maupun transendentalitas suatu entitas. Jadi, narasi ‘seni adalah kawan, ilmu adalah teman, dan agama adalah sahabat‘ memiliki makna dalam, bukan sekadar goresan yang berarti sempit. Sayang sekali apabila goresan penuh makna itu luput dari pengetahuan dan pemahaman krama Bali. Semoga goresan singkat itu dimanfaatkan untuk membangun peradaban Bali yang adiluhung. Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD

Komentar