nusabali

Kembali ke 70-an

  • www.nusabali.com-kembali-ke-70-an

DI desanya lelaki itu dipanggil panglisir, orang yang dituakan dan sangat dihormati.

Usianya 75 tahun, ketika pandemi Corona mulai mencengkeram tahun lalu. Ada belasan orang usianya sepantaran lelaki itu, tapi cuma dia yang dipanggil panglisir. Entahlah, mungkin karena lelaki itu punya banyak pengalaman hidup, bijak, bicaranya kalem, teduh, tak pernah marah, dan menjadi sumber orang-orang desa untuk bertanya.

Dia pernah menjadi tukang bangunan, juga mandor pengerjaan jalan dan dam. Beberapa tahun bekerja di bengkel motor, pernah ikut truk pengangkut jeruk ke Jawa, sempat bekerja di hotel, pernah jadi penabuh sekaa kesenian yang pentas buat turis, sebelum akhirnya kembali bertani mengurus kebun, rajin ngayah di pura, dan aktif dalam sekaa pesantian, kelompok yang menembangkan lagu-lagu surgawi.

Lelaki itu orang biasa, bukan keturunan brahmana, tidak dari golongan bangsawan, tapi menjadi juru damai bagi yang dalam kemelut konflik. Jika ada keluarga cekcok gara-gara tanah warisan, lelaki itu memberi jalan ke luar. Kalau ada orangtua bingung mengurus anaknya yang bengal, dia memberi saran. Panglisir itu menjadi tumpuan mencari jalan ke luar, tempat meminta petunjuk. Mereka yang sedang marah-marah bertikai, begitu datang panglingsir, kemarahan mereka segera reda. Hingga kini tak seorang pun tahu, kekuatan apa gerangan dimiliki panglingsir itu sampai sanggup meredakan kemarahan setiap orang tanpa berbuat sesuatu apa pun.

Lelaki itu pun seakan menjadi sosok yang bisa menjawab tanda-tanda zaman. Beberapa warga semakin menghormatinya, karena dianggap orang yang bisa meramal kelangsungan peradaban. Selalu lelaki itu punya jawaban akan apa yang tengah terjadi. Makin banyak warga berkunjung ke rumahnya yang sederhana, mendengar pandangannya tentang ciri-ciri perubahan zaman.

Warga bertanya, apa yang akan terjadi jika pandemi Covid-19 berlangsung lama, tak bisa diramal kapan berakhir? Apakah akan semakin banyak orang mati? Yang bertahan, seperti apa meneruskan hidup? Apakah makanan akan mencukupi?

“Bumi memberi bahan makanan selalu berlebih,” jawab lelaki itu. “Jika banyak orang kini merasa mulai menjadi miskin, karena mereka terbiasa menikmati gaya hidup berlimpah. Saatnya kita sungguh-sungguh hidup sederhana, tidak cuma omongan, seperti yang kita lakoni di Bali tahun 1970-an.”

Di zaman itu kaya-miskin tidak kentara benar. Kaum priyayi, para pegawai negeri, digolongkan sebagai orang-orang beruntung. Selebihnya adalah kaum saudagar, pedagang yang punya warung sembako atau lapak di pasar-pasar. Jika mereka petani, mereka punya kebun luas. Warga dari Desa Bondalem di Buleleng Timur adalah kelas menengah karena punya kebun jeruk yang diperdagangkan antar-pulau, sebelum akhirnya ludes digasak virus CVPD.

Para kelas menengah ini, pegawai negeri, juga guru-guru sekolah dasar dan menengah, berpakaian necis, rapi. Kemeja dan celana mereka diurus di binatu, dicuci bersih dan direndam kanji agar licin dan kenceng kalau disetrika menggunakan pemanas dari bara arang.

Kaum bergengsi inilah yang bisa menyekolahkan anak-anak sampai ke perguruan tinggi. Di tahun 1970-an itu, para saudagar hasil bumi dan ternak, terutama orang Bali yang kaya karena menjual sapi antar-pulau, menyekolahkan anak-anak mereka ke Jawa: UGM, ITB, UI atau Unair. Para saudagar sapi ini juga punya tanah sawah dan kebun luas. Mereka lah kelas menengah pribumi yang tangguh, aktor pertumbuhan ekonomi.

Jika pandemi ini berlangsung lebih lima tahun, pariwisata tak lagi bisa jadi tumpuan hidup. Yang kaya karena pariwisata, menyekolahkan anak-anak sampai ke luar negeri, sulit kita temui. Bisa jadi kita kembali ke zaman ekonomi tahun 1970-an. Yang berpakaian rapi, necis, adalah pegawai negeri, guru-guru, dosen, karena berpenghasilan tetap. Mereka lah yang bisa menyekolahkan anak-anak ke universitas.

Menurut panglisir itu, kita tengah menuju pada keseimbangan, yang selama ini capek riuh dengan gonjang-ganjing. Alam sedang menguji apakah kita sudi berubah atau tidak. Jika ikhlas hidup sederhana, kita akan melewati masa sulit ini. Jika tetap merasa gagah, kita akan terseret ke situasi lebih runyam.

“Kalau begitu kita sebaiknya jadi pegawai negeri saja ya, biar bisa berpakaian endek necis, hidup aman punya gaji tetap,” sahut yang hadir.

Panglisir itu menggeleng. “Hidup sederhana itu yang paling penting, seperti dilakoni orang Bali tahun 70-an. Pariwisata belum menjadi mega-industri. Tak ada yang marah belum kebagian listrik dan air bersih. Mereka ikhlas pakai lampu teplok dan rela mandi di kali. Kekerabatan terjaga, tolong menolong terawat menjadi kegairahan hidup.”

Tapi, kini, kendati tetap bebas berinternet dan bermedsos, adakah yang sudi kembali hidup ke zaman 70-an? Siapakah yang sungguh-sungguh sudi melakoni hidup sederhana? *

Aryantha Soethama

Komentar