nusabali

Menakar Pencabutan Pasal Penghinaan Dalam UU ITE

  • www.nusabali.com-menakar-pencabutan-pasal-penghinaan-dalam-uu-ite

Kemajuan yang begitu pesat di bidang teknologi informasi telah memberikan sumbangan yang besar bagi berkembangnya dunia informasi dan transaksi elektronik. Saluran komunikasi yang lancar mempermudah masyarakat untuk mendapatkan dan menyampaikan pendapat.

Penulis : I Kadek Hendra Arthana Putra, SH
PJ Hukum BPS Provinsi Bali

Penyampaian pendapat merupakan suatu hak yang dilindungi oleh konstitusi, kebebasan dalam penyampaian pendapat merupakan suatu indikator bagi suatu Negara akan keberlangsungan demokrasi di Negara tersebut.

Dibalik keuntungan yang dihadirkan kemajuan dunia informasi dan transaksi elektronik, terdapat potensi menjatuhkan posisi kemanusiaan pada titik terendah ketika kebebasan tersebut dimaknai kebebasan tanpa batas dengan pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik secara tidak bertanggung jawab dengan menyerang kehormatan dan nama baik orang lain. 

Kebebasan mengeluarkan pendapat dibatasi oleh kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya dalam Pasal 28E ayat (3) juncto Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap pendapat harus disertai tanggung jawab secara moral dan hukum untuk selalu menyajikan kebenaran. Hal ini juga sejalan dengan makna negara hukum dan perlindungan hukum yang dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya penghargaan terhadap kehormatan dan nama baik orang lain ditunjukkan dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-VI/2008, yang telah berpendirian bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional setiap orang yang dijamin baik oleh UUD 1945 maupun hukum internasional. Dengan demikian, apabila hukum pidana memberikan sanksi pidana tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.

Perkembangan dunia informasi dan transaksi elektronik yang demikian pesat memerlukan perubahan paradigma model hukum responsif seiring dengan dinamika perkembangan dan kemajuan dunia siber. Pelaksanaan hak-hak baik di dunia nyata (real/physical world) maupun dalam aktivitas pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia maya (cyberspace) berisiko mengganggu ketertiban dan keadilan dalam masyarakat apabila tidak terdapat harmoni antara hukum dan teknologi informasi, yaitu tidak adanya pengaturan dan pembatasan oleh hukum yang melindungi hak-hak masyarakat.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan jawaban akan kebutuhan hukum yang responsive tersebut. Ditinjau dari sejarah kelahirannya, UU ITE lahir atau diundangkan tahun 2008, yang hampir bersamaan dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, merupakan dua UU yang dilahirkan dari suatu semangat demokrasi yang ada di Parlemen (DPR RI) dan Pemerintah saat itu. 

Saat mulai dirancang, sampai dengan revisi yang pertama kali di tahun 2016, UU ITE terus mendapatkan sorotan publik, pengaturan tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik salah satunya dianggap sebagai pembatasan hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat. Dalam UU ITE, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3).

Terkait Pasal 27 ayat (3) yang dianggap sebagai pembatas hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008, bahkan menyatakan dihadapkan pada dua kepentingan hukum yaitu antara melindungi kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat dengan lisan dan tulisan, dan kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagai hak-hak yang bersifat hak-hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, berhadapan dengan hak-hak dasar (basic rights) akan perlindungan terhadap harkat, martabat, dan nama baik orang lain.

Dua kepentingan hukum tersebut membutuhkan keseimbangan dalam pemenuhannya. Sehingga perlu dikaji seberapa jauh perlindungan harkat, martabat dan nama baik seperti diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengakibatkan pembatasan terhadap kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat. Dalam perlindungan terhadap harkat, martabat, dan nama baik sebelumnya sudah ada dalam norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan, dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Akan tetapi seiring dengan perkembangan dunia informasi dan transaksi elektronik, perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP secara harfiah kurang memadai dalam menunjukkan ekspresi dunia maya. Sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”. 

Pasal 27 ayat (3) UU ITE menetapkan: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" Jika dikaji unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: a. setiap orang; b. dengan sengaja; c. tanpa hak d. mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik; e. memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;

Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam Undang-Undang baru karena ada unsur tambahan yang khusus yaitu adanya perkembangan di bidang elektronik atau siber dengan karakteristik yang sangat khusus. Konsep pemidanaan dalam UU ITE merupakan delik yang dikualifikasi sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik sehingga konsepnya akan mengacu kepada KUHP. Oleh karena itu, penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Ancaman pidana dalam UU ITE lebih berat dibandingkan KUHP, perbedaan ini adalah wajar karena distribusi dan penyebaran informasi melalui media elektronik relatif lebih cepat, berjangkauan luas, dan memiliki dampak yang masif.

Undang-Undang sebagai produk politik dan hukum yang dihasilkan melalui mekanisme demokrasi harus mendidik masyarakat ke arah yang sejalan dengan Undang-Undang Dasar. Ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut sangat sejalan dengan ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yakni perlindungan kehormatan dan martabat manusia, pembebasan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia, serta bersesuaian dengan ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yaitu pendidikan terhadap masyarakat yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.

Sehingga tepatlah Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya (Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008) menyatakan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh negara tidak dalam rangka mengurangi hak-hak dasar untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, melainkan untuk memberikan jaminan kepada orang lain untuk menikmati kebebasan dirinya dari ancaman serangan terhadap kehormatan dirinya, keluarganya, serta merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan yang dapat menyebabkan dirinya tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan oleh Sang Pencipta. 

Penting diingat dalam melaksanakan dan mewujudkan hak-hak konstitusional seperti dijamin dalam konstitusi, tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, ketertiban umum maupun norma hukum yang berlaku, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.


*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Komentar