nusabali

Dari Parisada ke Warisan Budaya Tak Benda

  • www.nusabali.com-dari-parisada-ke-warisan-budaya-tak-benda

SINGARAJA, NusaBali
SEBELUM dikenal sebagai pakar astronomi Bali, I Gede Marayana telah mendalami dan perkembangan penyusunan kalender di Bali.

Kalender dengan penangggalan Bali pertama  diterbit Parisada Hindu Bali pada tahun 1959. Kalender ini menyatukan sistem penghitungan Purnama - Tilem antara Bali utara dan Bali selatan. Perbedaan sistem pengitungan itu berkali-kali disempurnakan, yakni tahun 1963, 1971 hingga 1979 saat pelaksanaan Karya Eka Dasa Rudra di Pura Besakih.

‘’Lanjut, tahun 1990 PHDI Bali membentuk tim pengkaji wariga, yang kemudian menemukan ilmu kalender Nirayana seperti berlaku di India,’’ paparnya.

Menurut Marayana, ilmu penanggalan Nirayana tersebut resmi diberlakukan tahun 1991, mengganti sistem pangalantaka Eka Sungsang sebelumnya. Pergolakan penanggalan Bali di intern terus terjadi hingga penggunaan sistem Nirayana menemukan kerancuan rumus pada tahun 1994. Kemudian tahun 1996, Marayana  menyeminarkan sistem Nirayana yang dinilai rancu itu dengan menggandeng salah satu universitas. Dia bergerak dengan misi tetap mempertahankan penghitungan dengan sistem pangalantaka Eka Sungsang. Waktu yang ditunggu-tunggunya pun akhirnya tiba. Tahun 1998 ada inisiatif para tokoh adat di Bali mengubah sistem pengalataka Nirayana yang menunjukkan kerancuan rumus saat diaplikasikan di Bali. “Itu dulu pernah nyaris kita di Bali melaksanakan dua kali nyepi saat itu,” kata pensiunan ASN Dinas PU tahun 2005 ini.

Selain itu, ada juga paruman sulinggih pada 25 Juli 1998 dengan agenda penyempurnaan pangalantaka. Saat itu pun para tokoh di Bali sempat ingin menggantikan sistem pangalantaka dari Eka Sungsang menjadi sistem Tri Lingga. Penyempuranaan yang dilakukan tahun itu melihat perayaan Hari Raya Nyepi pada tahun 1993-1998 dengan sistem Nirayana yang rancu. Salah satunya dibuktikan dengan jatuhnya Tilem Kasanga berubah dari biasanya pada Maret (penanggalan Eka Sungsang) bergeser ke April (Nirayana). Berdasarkan pengamatan Marayana. kerancuan itu diprediksi berdampak pada tahun 2001 silam. Yakni terjadi masalah pesasian dua kali tilem katiga dan dua kali purnama kapat. “Tahun 2002 itu masih pakai Nirayana pakai dua kali sistem tampih (lipat), setelah tilem dan purnama katiga kembali lagi tilem katiga dan purnama katiga, sehingga purnama kapat yang menjadi tolak ukur pelaksanaan upacara penting di Bali kacau,” ucap  penerima pengharagaan Wija Kusuma Kabupaten Buleleng tahun 2005 ini.

Padahal menurut penanggalan Bali yang mengacu pada sistem eka sungsang tilem katiga tidak boleh diganggu gugat. Sehingga pelaksanaan ngusaba di Besakih dan Ulundanu pada purnama kapat dapat berjalan dengan lancar. Persoalan yang muncul saat itu pun menyakinkan kembali bahwa penanggalan Bali mengacu pada surya, candra dan bintang adalah yang paling tepat diterapkan di Bali.

Kerancuan itu kembali membuat tokoh adat dan orang besar di Bali melakukan paruman sulinggih pad 18 September 2001 di wantilan Watukaru. Paruman itu digelar oleh PHDI Bali dan Pusat. Saat itu pun Marayana mendapatkan kesempatan untuk tampil dan memaparkan diagram pangalantaka dan sistem penanggalan Bali yang selama puluhan tahun dipegang teguh olehnya. Dia pun saat itu mengaku mendapat tugas mengkaji dua sistem kalender nirayana dan eka sungsang.

Dalam kajian itu pun dia mendapatkan kesamaan dalam sejarah penyusunan kalender memiliki 4 aspek, yakni unsur perhitungan, sistematika, geografis, dan religius. Ternyata dalam kajiannya sistem Nirayana dengan sistem penanggalan Bali memiliki unsur berbeda pada paspek geografisnya. Tolak ukur pencarian tilem yang didasari bajeging surya (matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa) secara nasional di Indonesia terjadi pada Maret. Sedangkan di India pada waktu yang bersamaan, posisi matahari atas garis khatulistiwa sudah condong 5 derajat, sehingga penentuan hari raya Tilemnya jatuh pada April.

Paruman sulinggih 2001 dengan hasil kajian Marayana akhirnya memberlakukan kembali sistem kalender Bali dengan sistem pangalantaka Eka Sungsang hingga saat ini. Marayana pun menyebutkan kalender saka Bali hanya mengadopsi angka tahun. Sedangkan sistem kalendernya berbeda dengan kalender tahun saka India. “Saya pribadi dan Bali harus bersyukur dengan ilmu pangalantaka sistem penanggalan Bali bisa ditetapkan sebagai WBTB (Warisan Budaya Tak Benda),” ujar Marayana.

Dia menambahkan, tak semua yang benar di India benar juga di Bali. Tetapi benar di Bali tak boleh menyalahkan yang di India. Intinya mesti menjaga bersama warisan budaya, ilmu luar biasa yang sudah didapatkan secara turun-temurun dari leluhur. *k23

Komentar