nusabali

MUTIARA WEDA: Memakan dan Dimakan

Annādvai prajāh prajāyante, yāh kāsca prthivigm-sritāh, Atho anne-naiva jivanti, athainad-api-yanty-antatah. (Taittiriya Upanisad, II,ii.1)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-memakan-dan-dimakan

Semua makhluk yang eksis di muka bumi lahir dari makanan. Mereka, setelahnya, hidup oleh makanan; selanjutnya, mereka pada akhirnya kembali kepadanya dan menyatu menjadi makanan.

Satu hal menarik saat mendiskusikan tentang makanan adalah mengenai definisinya. Menurut teks, makanan (annam) adalah ‘sesuatu yang dimakan’ (adyete) dan ‘ia yang memakan’ (atti). Objek yang dimakan maupun subjek yang memakan adalah makanan. Hampir sebagian besar dari kita tidak mengetahui ini, atau kalaupun pernah membaca, pikiran segera menolaknya. Mengapa? Karena, apa yang diajarkan sejak kecil mengenai makanan hanyalah benda yang dimakan. Makanan hanyalah objek, sementara yang memakan adalah subjek. Makanan selalu menjadi objek dari makhluk yang memakanannya dan tidak pernah subjek.

Namun, teks di atas menyatakan bahwa mereka yang memakan pun adalah makanan. Seperti apa logikanya? Makhluk hidup hadir dan dipelihara oleh makanan. Setelahnya, ketika mereka selesai memakan, tubuhnya sendiri menjadi makanan. Pohon saat tumbuh dihidupkan oleh makanan yang bersumber dari tanah dan matahari. Setelah menguning dan tua, daun-daunnya jatuh dan kemudian menjadi humus yang akhirnya dimakan oleh tumbuhan lain. Hewan lahir dan dihidupkan oleh makanan, namun tubuhnya sendiri menajdi makanan ketika menjadi target buruan oleh binatang lain. Manusia lahir dan dihidupkan oleh makanan, dan ketika meninggal, tubuhnya menjadi makanan bagi bakteri atau api. Jadi, menurut teks di atas, ini adalah ketentuan alam yang tidak bisa ditolak. Memakan dan dimakan adalah ketentuan semesta yang seterusnya berjalan.

Itu proses alamiah. Namun, apakah proses makan memakan juga ada dalam ranah hubungan sosial? Jika memakan dan dimakan adalah proses alamiah bagi tubuh, proses ini bisa saja terjadi dalam hubungan sosial, karena yang berinteraksi secara sosial adalah tubuh satu dengan yang lainnya. Meskipun interaksi mereka menyertakan kesadaran, tetapi kealamian tubuh memiliki pengaruh besar. Sehingga, proses memakan dan dimakan pun kerap kita temukan dalam kehidupan masyarakat. Bahkan dalam dunia politik kondisi ini telah menjadi biasa. Istilahnya ada banyak, seperti ‘hubungan saling menguntungkan’, ‘demi keadilan sosial’, dan lain sebagainya. Apapun itu, poros dasarnya adalah proses ‘memakan dan dimakan’. Proses memakan dan dimakan alamiah itu beyond etika, sementara memakan dan dimakan dalam kontrak sosial itu berada dalam ranah etika. ‘Memakan dan dimakan’ bisa positif atau negatif, tergantung intensitas orang beserta situasinya.

Jika proses ‘memakan dan dimakan’ menghadirkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka proses itu positif, demikian sebaliknya. Seorang pedagang sayur membutuhkan pembeli. Bagi pedagang, pembeli adalah ‘makanan’. Sementara bagi pembeli, dagangan itu adalah ‘makanan’. Di dalamnya terjadi proses ‘makan memakan’, tetapi menguntungkan satu dan yang lainnya. Sebaliknya, bagi seorang pencopet, property orang lain adalah ‘makanannya’. Saat barang itu dicopet, si pencopet untung sementara yang dicopet buntung. Proses makan dan memakan ini tidak baik dan hanya menguntungkan sebelah pihak. Inilah mengapa mencopet secara moral sosial itu salah.

Berdasarkan itu semua dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya hidup ini adalah saling makan memakan, baik dalam konteks alamiah maupun sosial. Ada saatnya kita memakan dan ada saat lainnya kita dimakan. Dan, ketika proses memakan dan dimakan dalam konteks sosial tersebut memiliki konsekuensi positif dan negative, maka sangat bijak jika kita mengusahakan proses makan memakan itu menjadi positif. Mengapa positif? Karena dengan positivitas itu tidak ada orang atau siapapun yang dirugikan. Demikian juga, oleh karena proses memakan dan dimakan itu adalah pasti, orang tidak mungkin bisa memakan selamanya. Seperti misalnya, kita secara terus-menerus menilai keburukan orang. Bagi kita, orang yang dijelekkan adalah makanan. Tidak tertutup kemungkinan di masa lainnya, kita juga akan dimakan oleh orang lain dengan menampilkan hal yang sama. Semesta bekerja dengan sangat sempurna dan akan selamanya demikian. Mengupayakan hal yang positif sangat penting agar proses makan dan memakannya positif. *

I Gede Suwantana

Komentar