nusabali

Perempuan Bukan Sebatas Sex Ratio

  • www.nusabali.com-perempuan-bukan-sebatas-sex-ratio

Setidaknya dalam beberapa tahun ke depan, para jomblowati tidak usah khawatir karena BPS menyatakan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan.

Statistisi Ahli Muda di BPS Provinsi Bali

Dari hasil Sensus Penduduk 2020, terkonfirmasi jumlah penduduk laki-laki mencapai 136,66 juta orang sedangkan penduduk perempuan berjumlah 133,54 juta orang. Secara spesifik besaran Sex Ratio penduduk Indonesia adalah 102, artinya dari 100 orang perempuan terdapat 102 orang laki-laki. 

Jumlah penduduk laki-laki mendominasi hampir di seluruh provinsi, hanya Sulawesi Selatan dan DI Yogyakarta yang nilai Sex Ratio-nya di bawah 100. Untuk Bali sendiri, nilai sex ratio-nya sebesar 101,16 yang berarti dari 100 orang penduduk perempuan terdapat sekitar 101 orang penduduk laki-laki. Dilihat persebarannya, terdapat 3 wilayah dengan nilai sex ratio di atas rata-rata provinsi yaitu Karangasem (102,71), diikuti Kota Denpasar (102,03) dan Bangli (101,47). Sedangkan 6 kabupaten lainnya berada di bawah rata-rata provinsi yaitu Buleleng (101,13), Gianyar (100,61), Tabanan (100,55), Klungkung (100,38), Badung (100,35) dan terendah tercatat di Jembrana yaitu 100,25.

Secara matematis sangat mudah dipahami ketika angka Sex Ratio di atas 100 berarti jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, dan sebaliknya kisaran angka di bawah 100 menunjukkan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Namun apakah semua daerah memiliki komposisi yang nyaris seimbang? Dikutip dari statistictimes.com, Sex Ratio terendah ada di Negara Nepal dengan besaran 84, dan yang tertinggi pada kisaran 302 di Negara Qatar. Kalo boleh sedikit berkelakar, dari perbandingan tersebut bisa dibayangkan bagaimana susahnya laki-laki di Qatar yang harus mendatangkan istri dari Nepal karena jumlah perempuan sangat terbatas di negaranya. Namun apakah semata untuk kepentingan mencari pasangan hidup arti dari Sex Ratio tersebut?     

Secara total, komposisi antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di Bali tidak mengalami banyak perubahan karena dari hasil Sensus Penduduk 2010, angka Sex Ratio juga sudah berada pada kisaran 102 atau tepatnya pada angka 101,66. Akan tetapi, pada tahun 2010 tercatat masih terdapat 4 wilayah dengan Sex Ratio di bawah 100 yaitu Jembrana, Tabanan, Klungkung dan Buleleng. Dari hasil Sensus Penduduk ini, dapat dilihat bahwa selama 1 dasawarsa terakhir telah terjadi perubahan komposisi penduduk di 4 wilayah tersebut. Secara alami, perubahan komposisi penduduk ini dipengaruhi oleh dinamika kependudukan yang meliputi proses kelahiran, kematian serta perpindahan penduduk. 

Sepintas terkesan ideal karena Bali ternyata memiliki sumber daya berimbang antara laki-laki dan perempuan, sehingga seyogyanya menjadi salah satu modal dasar pembangunan yang potensial. Namun perlu digali lebih dalam, apakah tidak terdapat ketimpangan antara penduduk laki-laki dan perempuan tersebut, karena tidak dapat dipungkiri selama ini isu bias gender masih menghantui proses pembangunan. Apalagi Bali yang kental dengan budaya patrialismenya, dikenal lebih mengedepankan anak laki-laki dalam kaitannya untuk melanjutkan garis keturunan. 

Untuk pembanding pertama, coba kita gunakan indikator Indeks Pembangunan Gender atau IPG yang diformulasikan sebagai perbandingan antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan terhadap IPM laki-laki. Berdasarkan data yang dirilis oleh BPS (dikutip dari www.bps.go.id), IPG Bali pada tahun 2019 tercatat sebesar 93,72 jauh meningkat dibanding tahun 2010 yang hanya 67,81. Dari perbandingan tersebut sepintas bisa dikatakan perbaikan pembangunan gender di Bali sangat pesat selama hampir 10 tahun terakhir. Peningkatan IPG tersebut bisa dimaknai sebagai turunnya ketimpangan antara kualitas pembangunan laki-laki dan perempuan karena nilai yang semakin dekat ke 100 mencerminkan kesenjangan yang semakin kecil. Kualitas pembangunan yang diukur dalam IPG ini mencakup kualitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi. 

IPG Bali pada tahun 2019 menempati posisi terbesar kelima terbesar setelah DI. Yogyakarta, DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan Sumatera Barat, meningkat dari capaian tahun 2010 yang menempati peringkat ketujuh. Turunnya ketimpangan kualitas pembangunan menurut gender juga terlihat dari pergerakan indikator IPG menurut kabupaten/kota yang semakin mendekati 100. IPG tertinggi terdapat di wilayah Sarbagita dengan urutan Kota Denpasar (96,92), Badung (95,50), Tabanan (95,35) dan Gianyar (94,26). Sama halnya dengan tahun 2010, pada tahun 2019 Kabupaten Jembrana pun memiliki IPG di atas rata-rata provinsi yaitu 93,52. Kabupaten lain memiliki IPG di bawah rata-rata provinsi yaitu Buleleng (91,94), Bangli (91,25), Klungkung (91,10) dan Karangasem dengan capaian terendah tercatat hanya 88,87.

Disamping IPG, kita juga bisa mencermati Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) untuk melihat bagaimana pembangunan menurut gender di Bali. Namun bedanya dengan IPG yang membandingkan capaian kualitas pembangunan antara laki-laki dan perempuan, pada IDG murni menunjukkan bagaimana capaian perempuan dalam hal peran aktif di dunia politik, pengambilan keputusan serta keterlibatan ekonomi. Sehingga semakin tinggi nilainya merepresentasikan meningkatnya pemberdayaan perempuan di suatu wilayah. Sebagaimana dirilis oleh BPS, pada tahun 2019 IDG Bali berada pada level 72,27 meningkat 13,74 poin dari tahun 2010 yang tercatat sebesar 58,53. 

Menarik untuk dicermati bagaimana sebaran IDG menurut wilayah di Bali. IDG tertinggi terdapat di Klungkung yaitu 78,35. Daerah selanjutnya yang memiliki IDG di atas rata-rata provinsi adalah Tabanan (78,14), Badung (75,23), Jembrana (74,60) dan Buleleng (73,13). Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar tercatat di bawah rata-rata provinsi dengan IDG masing-masing sebesar 66,22 dan 62,16. Capaian IDG terendah terdapat di Bangli (61,81) dan Karangasem (60,77). Dengan komposisi nilai yang masih jauh dari 100, berarti masih tersedia cukup ruang bagi seluruh wilayah di Bali dalam rangka meningkatkan pemberdayaan kaum perempuan. Tingginya capaian di suatu daerah tentu dapat menjadi bahan koreksi dan masukan bagi daerah lain yang capaiannya masih rendah. 

Terdapat pola yang berbeda antara capaian IPG dan IDG jika dilihat sebarannya menurut kabupaten/kota. Jika wilayah Sarbagita mendominasi untuk IPG tertinggi, namun tidak demikian halnya dengan IDG. Disparitas antara besaran IPG dan IDG juga jauh berbeda, dimana untuk IPG selisih nilai tertinggi dan terendah hanya 8,05 poin sedangkan untuk IDG selisihnya cukup besar mencapai 17,58 poin. Perbedaan pola ini tentu membutuhkan kajian lebih lanjut mengenai indikator manakah yang menjadi pembeda capaian antar wilayah. Namun dalam pembahasan kali ini, sudah cukup terjelaskan bahwa walaupun masih terjadi disparitas namun secara umum pembangunan berbasis gender di Bali menunjukkan perbaikan. Meski belum menyamai laki-laki tapi kualitas pembangunan perempuan menunjukkan perbaikan dari waktu ke waktu.         

Pada akhirnya bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak ada benar salah ataupun kalah menang dalam memaknai komposisi Sex Ratio antar wilayah di Bali. Bukan berarti Sex Ratio di atas rata-rata adalah lebih baik ataupun sebaliknya. Namun yang perlu dicermati lebih jauh, apakah Sex Ratio dengan nilai yang nyaris berimbang antara penduduk laki-laki dan perempuan tersebut telah disertai dengan capaian kualitas penduduk laki-laki yang setara dengan perempuan. Gambaran dua indikator pembanding seperti IPG dan IDG kiranya mampu menjadi bahan evaluasi dan perencanaan pembangunan yang tidak bias gender. Karena baik laki-laki maupun perempuan, keduanya memiliki peran penting bagi pembangunan. Terlebih perempuan secara kodratnya mempunyai fungsi reproduksi, sehingga kualitas dari perempuan itu sendiri akan menentukan bagaimana kualitas dari generasi penerus bangsa ke depannya. Sinergitas antara penduduk laki-laki dan perempuan diharapkan mampu menjadi kekuatan yang maha dahsyat demi keberhasilan pembangunan di Pulau Bali tercinta ini.*
          

*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Komentar