nusabali

Membela Status 'Janda'

  • www.nusabali.com-membela-status-janda

Status "janda" merupakan kondisi yang menjadi momok menakutkan bagi kaum perempuan. Bagaimana pun, hidup tanpa pasangan bukan perkara yang mudah untuk dijalani. Ditambah lagi label dan stigma negatif yang berkembang di masyarakat. Padahal, seorang janda harus menjalani peran ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai tulang punggung keluarga. Dengan kondisi seperti itu, menjadikan janda sangat rentan dari segala permasalahan.

Penulis : Fendy Apriyadi
Fungsional Statistisi di BPS Kabupaten Jembrana 

Pada tahun 2020, Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan Badan Pusat Statistik mencatat jumlah janda di Indonesia mencapai 13,11 persen dari total perempuan berusia 10 tahun ke atas. Jika Sensus Penduduk 2020 menyatakan jumlah perempuan berusia 10 tahun ke atas sebanyak 114.791.974 jiwa maka jumlah janda diperkirakan mencapai sekitar 15.049.227 jiwa. Tidak dapat dianggap enteng, pada asalnya status janda sendiri menjadikan perempuan menghadapi berbagai kesulitan. Terlebih dengan jumlah mereka yang tidak sedikit, cukup menjadi alasan jika permasalahan ini perlu mendapat fokus perhatian. 

Stigma dan Label

Kaum janda seringkali ditempatkan sebagai wanita pada posisi yang rendah, lemah, tidak berdaya dan membutuhkan belas kasih. Lebih parah, banyak masyarakat yang menganggap janda itu perempuan penggoda, genit, gampangan serta matrealistis. Semakin maju zaman dan literasi masyarakat tidak membuat stigma status janda membaik. Lihat saja beberapa lagu, film, berita dan joke yang beredar terkait janda mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat. Terakhir, ditengah kebosanan menghadapi pandemi, beredar sebuah tanaman yang dinamai “janda bolong”. Terlepas dari proses ilmiah atau tidak, jelasnya penamaan tersebut merupakan refleksi dari stereotipe yang melekat pada status janda.

Menjadi tugas pemerintah untuk mengedukasi masyarakat bahwa status janda bukanlah kondisi yang serta merta pantas untuk diberikan stigma dan label negatif. Dalam hal perfilman, berita dan lain sebagainya hendaknya lebih selektif memberikan izin penggunaan judul dan konten yang dapat menggiring masyarakat ke arah stigma dan label negatif kepada para janda. Melalui petuah para tokoh agama dan tokoh publik dapat mengangkat kisah-kisah yang mengangkat harkat dan martabat para janda. Memberikan contoh janda-janda yang mengambil peran penting dalam pembangunan peradaban, janda yang berhasil mendidik generasi-generasi pemimpin yang cemerlan dapat dijadikan pilihan dalam materi-materi yang mereka bawakan.

Psikologi

Stigma dan label yang berkembang di masyarakat memberikan efek psikologis yang tidak sederhana. Daripada harus mendengar slentingan yang beredar tentang status yang disandang saat ini, tidak jarang para janda lebih memilih menarik diri dari pergaulan dan membatasi lingkaran sosialnya. Melewati masa-masa berkabung akan kepergian mendiang suami saja sudah cukup membuat beban yang sangat berat bagi janda yang ditinggal meninggal oleh suami. Begitu juga janda yang terjadi karena perceraian, mungkin saja dirinya sebagai salah satu korban KDRT atau ditinggal suami bersama wanita idaman lain.

Dalam hal ini, keluarga dan lingkungan terdekat hendaknya benar-benar memahami kondisi yang dialami para janda. Jika tidak mampu meringankan beban, minimal jangan menambah beban untuk mereka.

Memang sudah bermunculan bebagai LSM yang khusus menangani permasalahan para janda, namun sosialisasi keberadaan LSM tersebut belum terlalu masif, butuh upaya aktif para janda sendiri untuk mencari tahu. Akses-akses seperti ini biasanya mudah dijangkau bagi janda yang tinggal di perkotaan dengan dukungan media sosial dan kolega. Lalu bagaimana dengan janda yang tinggal di perdesaan yang notabene terbatas dengan segala akses. Faktanya jumlah janda di perdesaan lebih banyak daripada jumlah janda di perkotaan, 13,99 persen berbanding 12,42 persen.

Pemerintah setempat, yang paling dekat dengan mereka adalah pemerintah Desa. Cobalah libatkan mereka pada kegiatan-kegiatan sosial yang positif, jika memungkinkan kegiatan tersebut dapat juga memberikan tambahan pundi-pundi penghasilan. Karena disamping memenuhi kebutuhan pribadi, mereka juga menanggung kebutuhan anak-anak yang kini bersamanya. Memberikan pendampingan merupakan langkah yang paling tepat untuk dilakukan. Ketiadaan suami otomatis menghilangkan kesempatan mereka untuk bertukar pikiran dan perasaan dalam menghadapi segala permasalahan. Keadaan ini dapat digantikan dengan pendampingan dari pihak-pihak yang memiliki tugas dan fungsi pokok terkait hal ini.

Ekonomi

Seringkali janda yang ditinggalkan suami akibat kematian atau perceraian mengajak anak ikut serta dengannya, secara otomatis tanggung jawab ekonomi kini menjadi tanggung jawabnya. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020 mencatat rasio perempuan yang bekerja terhadap jumlah total perempuan usia 15 tahun ke atas sebesar 49,70 persen. Memungkinkan saja, 51,30 persen perempuan yang tidak bekerja dikarenakan sekolah, mengurus rumah tangga dan aktif pada kegiatan lain yang tidak termasuk tidur, bermalas-malasan, santai, bermain dan tidak melakukan kegiatan apapun. Kaitannya dengan persoalan janda, perempuan yang dahulunya menjadi ibu rumah tangga harus mulai melakukan kegiatan ekonomi atau bekerja untuk menghidupi diri dan keluarga.

Masalah tidak berhenti ketika janda telah memiliki pekerjaan. Selain mencari nafkah untuk keluarga, mereka dituntut untuk mengurus anak-anaknya dengan baik dari segi makanan, pendidikan, dan segala halnya. Saat ini mereka adalah single mother. Ada sebanyak 57,35 persen penduduk perempuan yang bekerja berstatus sebagai pekerja informal. Diketahui, pekerja informal merupakan pekerja yang tidak memiliki standar jam kerja, status mereka bisa saja sebgai pekerja bebas dengan gaji kecil yang dibayar persatuan hasil. Jika tidak bekerja, maka tidak akan mendapat penghasilan, begitu juga ketika mengurangi jam kerja, otomatis penghasilan akan berkurang. Berdasarkan jam kerja, ada sekitar 21,72 persen perempuan yang menggunakan jam kerja lebih dari 48 jam dalam seminggu, artinya rata-rata mereka bekerja hampir 7 jam perhari. Kondisi ini membuat para janda harus lihai mengatur waktu dan memiliki tenaga ekstra untuk mengurus anak-anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. 

Pembekalan keterampilan terhadap para janda dapat menjadi solusi pemerintah dengan melibatkan mereka pada Balai Latihan Kerja dengan berbagai keahlian kerja. Pekerja yang sudah mempunyai keahlian dan sudah mampu menghasilkan produk ekonomi dapat dibantu dalam hal permodalan dan juga menemukan pangsa pasar. Janda yang sudah mapan, dirangkul untuk memberikan semangat kepada janda lainnya serta berbagi pengalaman. Jika hal-hali di atas dilakukan, berharap para janda tidak lagi ditempatkan sebagai wanita pada posisi yang rendah, lemah, tidak berdaya. Namun menjadi perempuan yang tangguh, mandiri dan ikut serta sebagai subjek pembangunan yang diandalkan.*


*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Komentar