nusabali

MUTIARA WEDA: Saraswati

Vedāyai vedarupāyai vedāntāyai namo namah, Guna dosha vivarjinyai guna-diptyai namo namah. (Agastya Muni Saraswati Stotram, 11)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-saraswati

Dia merupakan Veda itu sendiri, wujud-Nya merepresentaskan Veda, esensinya adalah kulminasi Veda (Vedanta), sujud kepada-Nya. Dia yang Esensi transendentalnya bebas dari baik dan buruk, namun wujud-Nya tetap bersinar dengan segala kemuliaan, sujud kepada-Nya.

Saraswati dihubungkan dengan pengetahuan, apakah wujud, analogi, mitologi, esensi maupun teknologinya. Dia diwujudkan dengan perempuan cantik yang dihiasi berbagai ornament simbolik. Dia juga ibarat air sungai yang mengalir, pengetahuan yang mengantarkan orang mencapai samudera kesadaran. Dalam konsep tri murti, Dia adalah sakti dari Brahma (pencipta). Teks di atas menyatakan bahwa Saraswati secara esensi tidak lain adalah inti ajaran Veda itu sendiri. Bagi seorang bhakta atau sadhaka, Saraswati adalah objek pujaan yang memberikan kekuatan untuk meraih pengetahuan. Wujud-Nya itu melampaui dualitas baik atau buruk, mulia atau hina. Oleh karenanya, tidak ada hal yang bisa dikerjakan selain sujud kehadapan-Nya.

Ketika orang berbicara dan bicaranya itu berpengaruh, ia dikatakan memiliki Saraswati di lidahnya. Ketika orang mengatakan sesuatu yang benar atau membicarakan kebenaran, cicak yang berbunyi saat itu dinyatakan sebagai wujud Saraswati yang hadir. Ketika anak-anak belajar, Saraswati adalah Dewi yang dipuja dan dimohonkan berkatnya. Ketika orang memiliki daya kretif yang tinggi dikatakan Saraswati bersemayam dihatinya. Dikataan pula bahwa, jika sebuah bangsa ingin membangun peradaban tinggi, Saraswati mesti diletakkan pertama. Bahkan dewa Brahma pun, tanpa sakti Saraswati, ciptaan tidak mungkin terwujud. Demikian seterusnya. Segala jenis kemakmuran dan kemashyuran selalu diawali dengan Saraswati. Bahkan diyakini bahwa, siapapun yang mendahulukan Saraswati, segala yang lainnya akan mengikuti.

Bagaimana dengan perayaan Saraswati dewasa ini, apakah sudah merepresentasikan itu? Apakah perayaan itu berpengaruh signifikan terhadap internalisasi nilai Saraswati? Jika Saraswati diidentikkan dengan pengetahuan, seni dan kebijaksanaan spiritual, apakah kemudian perayaan itu membuat mereka telah bijaksana, berpengatuan luas dan terasah hatinya? Teks menyebut bahwa Saraswati adalah Veda itu sendiri, lalu apakah kemudian perayaan itu menjadi momentum untuk mendudukkan Veda di dalam dirinya sehingga tindakannya selaras dengan ajaran yang ada di dalamnya? Jika sudah, maka perayaan itu telah bertuah, tetapi jika belum perayaan itu mesti di-reenergize lagi, sehingga momentum itu mampu meluluhkan kesadaran di dalam. Sepertinya, kita perlu me-reenergize (menguatkan kembali energi) karena evident (jelas) di lapangan belum menunjukkan tuahnya.

Bagaimana me-reenergize  sehingga terjadi sesuai harapan? Satu hal di awal yang harus dipahami adalah bahwa Saraswati yang layak di-sujud-i adalah pengetahuan yang ada bersama pikiran kita. Saraswati yang diwujudkan adalah refleksinya. Demikian juga buku yang dibantenin hanyalah refleksinya. Saraswatinya terletak pada pengetahuan yang ada di dalam buku yang kemudian hidup di dalam pikiran. Laku yang kita lakukan pada perayaan Saraswati dengan memuja wujud-Nya dan menghaturkan banten Saraswati pada buku hanyalah pesan simbolik. Pesan itu diharapkan mengalami proses internalisasi dan Sarawati yang sejati adalah di dalam diri yang mampu mengantarkan seseorang pada kemajuan baik material maupun spiritual.

Jika hal tersebut bisa dipahami, maka perayaan Saraswati baru dikatakan bertuah. Jika tidak, perayaan itu tidak ubahnya seperti tukang fotocopy buku. Ia meng-copy banyak buku, namun tidak satupun isi buku itu menjadi bagiannya. Setiap enam bulan kita mengulang perayaan Saraswati, tetapi Saraswati yang sejati tidak pernah hidup di dalam diri. Perayaan bisa saja marak, tetapi kita tidak mampu mengaksesnya. Orientasi kita hanya pada perayaan, tidak pada momentum yang dihadirkan di dalamnya. Namun, satu hal yang mesti diperhatikan disini. Meskipun faktanya perayaan itu belum bertuah, tidak ada satu orang pun yang mesti disalahkan. Mengapa? Pertama, kesadaran itu tidak bisa kolektif. Informasinya bisa diberikan secara kolektif, tetapi kesadaran terhadap-Nya hanya bersifat pribadi. Kedua, jika kita menyalahkan, maka “menyalahkan” itu sendiri adalah anti-Saraswati. Sinar tidak pernah menyalahkan gelap. Jika kita masih menemukan kegelapan, itu artinya sinar yang kita bawa belum terang. *

I Gede Suwantana

Komentar