nusabali

MUTIARA WEDA: Kirtimukha

Annam brahmeti vyajānāt, annād-dhyeva khalvimāni bhutāni jāyante, Annena jātāni jivanti, annam prayantya-bhisamvisantiti. (Taittiriya Upanisad, III.2.1)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-kirtimukha

Makanan adalah Brahman karena dari makanan semua makhluk lahir; oleh makanan (ketika lahir) mereka hidup, dan saat berangkat, ia menjadi makanan.

Suatu ketika, Raja Jalandhara mengirim utusan bernama Rahu untuk menutupi bulan. Ini dilakukan dalam rangka menantang Siwa agar menyerahkan Parwati. Menjawab tantangan itu, Siwa kemudian menciptakan raksasa yang sangat ganas dan lapar, siap untuk melahap apapun di depannya. Melihat itu, Rahu ketakutan dan memohon ampun agar jangan dimakan.

Siwa mengampuni Rahu. Namun, Raksasa itu minta makanan, karena ia diciptakan memang tugasnya hanya untuk makan. Siwa memerintahkan untuk memakan badan dan kakinya sendiri. Raksasa pun melaksanakan perintah itu. Hanya wajah dan tangannya saja yang masih tersisa. Siwa kemudian memberinya nama Kirtimukha, wajah mulia yang nantinya selalu ada di depan pintu kuil.

Demikian Skanda Purana dan Siwa Purana mengisahkan. Gambaran ini mirip Boma di Bali atau Kala Makara di Jawa (atau bisa juga diidentikkan dengan Ouroboros di Yunani), yakni ornament muka raksasa pada pintu gerbang masuk kuil atau Pura. Kisah tersebut menarik, disamping menjadi inspirasi dalam arsitektur juga mengandung makna yang layak ditelusuri lebih mendalam. Oleh seorang arsitek, cerita tersebut menjadi sumber inspirasi mahakarya. Bagi pemuja bisa menginspirasi perkembangan sraddha-nya. Bagi atheis, legenda ini dapat dijadikan bahan tertawaan. Sementara bagi seorang sadhaka, cerita tersebut mengandung makna esoteric yang mesti ditemukan dan dijalani.

Teks di atas mungkin bisa dijadikan pijakan untuk menginterpretasi bagaimana seorang sadhaka menemukan maknanya. Teks mengatakan bahwa semua makhluk muncul dari makanan, dipelihara oleh makanan dan setelah mati menjadi makanan. Sadhaka adalah orang yang sedang berada pada perjalanan pulang. Artinya, ia sedang berada pada proses pralina. Agar perjalanannya selamat sampai tujuan, maka segala hal yang melekat pada dirinya harus dipralina. Semua beban duniawi harus selesai sehingga tidak ada lagi keterikatan untuk kembali ke dunia.

Dalam kehidupan, semua proses makanan dikerjakan di dalam tubuh. Proses kerja prakrti ada pada tubuh. Agar kesadaran menjadi murni, belenggu prakrti harus dihilangkan. Sehingga dengan demikian, seorang sadhaka yang serius harus berupaya melemahkan proses kerja prakrti tersebut sehingga ikatannya memudar. Raksasa yang memakan tubuhnya sendiri boleh diidentikkan dengan seorang sadhaka yang intens melakukan sadhana untuk melenyapkan ikatan prakrtinya, sehingga yang tersisa hanya sinar Kesadaran Sang Diri saja. Kirtimuka yang menjadi ornament pintu gerbang kuil atau Pura adalah representasi Siwa itu sendiri. Demikian juga sadhaka yang telah sampai pada terminal akhir adalah ia yang sukses mengatasi kerja prakrti di dalam dirinya, dan menjadi Kirtimukha itu sendiri.

Bagaimana orang bisa memakan badannya sendiri dalam rangka menjadi Kirtimukha? Jawabannya hanya satu, seperti halnya raksasa itu diciptakan hanya untuk satu tugas, yakni makan. Jadi, hanya sadhana yang bisa dikerjakan, apapun bentuknya. Satu-satunya cara agar bisa menjadi ‘muka yang mulia’ adalah dengan memakan badannya sendiri dengan praktik sadhana. Mereka yang yoninya bergerak, maka Karma Yoga cocok dengannya. Mereka yang suka menemukan ke-hakiki-an di balik ajaran, Jnana yoga sesuai dengannya. Mereka yang menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa dan hanya Beliau yang Maha Segalanya, maka bhakti cocok baginya. Demikian juga mereka yang menemukan bahwa kekuatan Tertinggi itu bisa digali pada bagian-bagian tubuhnya, maka Raja Yoga sesuai dengannya.

Dengan demikian, orang yang tercerahkan itu ibarat kepala tanpa badan. Mereka yang urusan badannya telah selesai akan memiliki kesadaran ini. Ia adalah Kirtimukha, Siwa itu sendiri. Tubuhnya telah masuk ke dalam makanan dan menjadi makanan. Ketika tubuhnya telah menjadi makanan, maka Jiwanya bersinar kembali, menemukan kesejatiannya yang selama ini disembunyikan oleh selubung prakrti melalui aspek Tri Gunanya. Jadi benar bahwa satu-satunya dharma kita hidup adalah memakan tubuh kita sendiri dan kemudian hidup abadi. Kita hidup hanya untuk menjadi Kirtimukha.

I Gede Suwantana

Komentar