nusabali

Humanisme Transendental

  • www.nusabali.com-humanisme-transendental

Humanisme transendental sebuah jargon yang kedengarannya ‘diadakan’ (coineage) dan aneh? Apakah dugaan itu benar atau salah?

Ketika dirunut asal muasalnya, makna kedua leksikon ini menjadi jelas, tidak asal-asalan apalagi manipulatif. Dalam KBBI, kata ‘transenden’ dimaknai sebagai ‘segala di luar kesanggupan’ atau ‘niskalaning’ pemikiran . Sedangkan, kata humanisme berarti bersifat atau sesuai dengan sifat manusia.

Jadi, apa sejatinya makna humanisme transendental atau apa pesan pokok yang dikabarkan dari humanism transendental itu? Humanisme transendental asli pemikiran Jacob Oetama, pemimpin media Kompas yang melontarkan pandangan tentang hakekat jurnalisme bagi Kompas dan juga untuk pers di Indonesia. Ia berpandangan bahwa kebertahanan (baca: keterlangsungan dan kemajuan) sebuah media dapat dicapai apabila fungsinya sebagai penunjuk arah (roadmap). Fungsi peta jalan adalah untuk menunjukkan posisi dan lokasi suatu tempat di permukaan bumi. Fungsi lainnya adalah untuk menunjukkan ukuran (luas, jarak) dan arah suatu tempat, sehingga memeroleh kepastian dan akurasi.

Pemikiran etno-humanis Jacob Oetama ini perlu dijadikan pembelajaran dalam kehidupan krama Bali! Krama Bali sangat akrab dan loyal terhadap agama Hindu dan budaya Bali (baca: adat istiadat) tidak disangsikan. Keduanya harus bertahan, dilestarikan, tidak diganti, tidak bergeming dari aslinya. Tidak ada yang menyangsikan tentang keyakinan dan pelaksanaan keduanya. Kalau toh ada yang mencoba ‘mengganti’ atau ‘menyusupi’ atau ‘memengaruhi’ dengan warna berbeda, keyakinan berbeda, cara berbeda dari budaya aslinya, itu semua merupakan sebuah tantangan. Ke-semua itu bukanlah fokus pembicangan yang bermanfaat dan menarik.  Bagaimana dengan pemikiran humanisme transendental disusupkan ke dalam keyakinan dan budaya krama Bali?

Misalnya, semua yadnya Hindu sudah rutin dilaksanakan sesuai dengan sastra dan budaya Hindu. Seperti saat ini, umat Hindu merayakan Galungan dan Kuningan. Berbagai acara Galungan dan Kuningan dilaksanakan sesuai keadaan. Tetapi, apakah humanisme transendental dapat mengilhami krama Hindu Bali menjadikan hari raya sebagai ‘peta jalan’ kehidupan yang lebih berbudaya, berkarakter, dan berdasarkan Dharma. Mungkin, ilham demikian menjadi penunjuk arah yang akurat dan efektif bagi krama Hindu Bali di manapun berada.

Sejarah suku Bali, kebudayaan, keyakinan, bahasa, rumah adat, dan adat istiadat merupakan khasanah kekayaan krama Bali.

Nilai dan keluhurannya tidak terhitung dan ternilai, terkenal seantero dunia, dijadikan ikon pariwisata budaya, mendatangkan kesejahteraan bagi sebagian krama Bali. Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota memiliki perhatian besar pada khasanah kebudayaan dan adat istiadat tersebut. Berbagai perhatian telah diluncurkan, infrastruktur dilengkapi, sumberdaya insani ditingkatkan kualitasnya, kebijakan sosial dan budaya disepadankan, tindak langkah dan kiprah dioptimalkan, dan masih banyak lagi yang belum disebutkan. Apakah khasanah kebudayaan krama Bali itu dapat menjadi ‘penunjuk jalan’ untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan krama Bali? Dalam keseharian, acara dan adat sering menciptakan prahara, mengundang dilema, memicu konflik, atau bahkan meninggalkan keyakinan turun temurun, dan sebagainya! Karena kurangnya pemahaman, ritual dan adat dijadikan ‘kambing hitam’ kemarutnya kehidupan. Padahal, ‘kambing hitam’ sudah amat sulit ditemukan sekarang?  

Apabila humanisme transedental dapat disisipkan dalam pemahaman krama Hindu Bali, mungkin keakuratan makna pelaksanaan yadnya atau adat istiadat akan tercapai. Yadnya dan adat tidak dapat diukur dan dinilai dari besar-kecilnya sesajen, hadir-absen dari kebiasaan, atau dekat-jauh jarak bersembahyang. Tetapi, sikap yang mendasari semua perilaku religius dan sosial tersebut adalah ketulusan yang tidak berharap imbalan. Semoga humanism transedental ini dapat memperkaya khasanah beragama dan berbudaya krama Bali!

Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D

Komentar