nusabali

MUTIARA: Baik vs Dosa

Etagm ha vāva na tapati, kimahagm sādhu nākaravam, Kim-aham pāpam-akaravam-iti, sa ya evam vidvānete ātmānagm sprnute, Ubhe hyevaisa ete ātmānagm sprnute, ya evam veda, ity-upanisad. (Taittiriya Upanisad, II,ix-2)

  • www.nusabali.com-mutiara-baik-vs-dosa

Jenis pemikiran seperti, ‘Mengapa aku tidak melakukan hal yang baik? Mengapa aku telah berbuat dosa?’, tidak akan membuat terguncang bagi orang yang telah mengalami kebenaran. Dia yang mengetahui ini akan menyatakan keduanya sebagai Atman. Sungguh, keduanya akan dinyatakan demikian bagi dia yang mengetahui itu hanya sebagai atman. Inilah akhir dari Upanisad.

AJARAN ini berbahaya bagi orang yang belum maju, dan sungguh berbahaya bagi orang demikian. Makanya tidak salah jika teks menyebut ajaran seperti ini ‘rahasia’, atau di Bali dikenal dengan ‘aywa wera’, atau dalam teks lain menyebutkan ‘takut dengan orang bodoh’. Orang bodoh harus belajar, dan memang harus demikian. Saat teks menyatakan ‘takut dengan orang bodoh’ bukan berarti orang bodoh tidak boleh belajar. Lalu apa? Konsekuensinya yang harus dipertimbangkan. Apa konsekuensinya? Mari kita lihat teks di atas. Apa jadinya jika teks seperti di atas dibaca oleh mereka yang minim literasi? Bagaimana pemahaman mereka? Apa kemudian yang akan dilakukan atas pemahamannya itu? Tidak tertutup kemungkinan masalah besar akan terjadi. Makanya, agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan, atau dengan kata lain, kalau sistem belum mampu meningkatkan atau meninggikan kesadaran masyarakat banyak, maka lebih baik tidak ada akses dengan teks seperti di atas.

Apa yang terjadi jika teks seperti di atas dipaksakan? Pertama, kemungkinan orang akan memiliki pemahaman bahwa teks di atas mengizinkan berbuat dosa, sebab perbuatan baik maupun perbuatan dosa adalah atman. Oleh karena berbuat baik itu secara prinsip adalah atman, dan berbuat jahat juga secara prinsip adalah atman, maka apa bedanya secara prinsip? Orang tentu akan menekankan pada berbuat dosanya, dan pemahamannya adalah ‘boleh’ berbuat dosa. Ini tentu berbahaya. Kedua, jika kemudian pemahaman itu menjadi keyakinan dengan pembenaran dari teks itu, maka dia akan bebas melakukan apa saja dan meyakini bahwa tindakannya itu secara prinsip adalah atman. Jika tindakannya jahat, bisa dibayangkan bagaimana kekacauan di masyarakat bisa terjadi?

Ketiga, jika kebetulan orang bodoh itu awalnya memiliki karakter baik, maka dalam kesehariannya bisa menjadi pragmatis. Seperti misalnya, seorang pimpinan di kantor dikenal baik. Tetapi, karena memahami teks di atas bahwa dosa juga atman, maka ketika dia menangani proyek besar, dia bisa membenarkan dirinya untuk korupsi, meskipun korupsi itu dipahami tidak baik. Memang, saat ini orang sebagian besar memahami korupsi itu adalah masalah kesempatan dan nasib baik. Jika ada kesempatan dan bernasib baik, maka dia lolos dari hukum, tetapi jika mendapat kesempatan dan bernasib tidak baik, dia terkena hukum. Namun, baik orang yang korupsi karena mengamini dirinya korupsi karena teks membenarkan dan orang yang korupsi karena menganggap itu kesempatan, pada prinsipnya adalah sama, hanya saja landasan berpikirnya yang berbeda.

Jika landasan berpikir untuk korupsi oleh karena dibenarkan oleh dalil teks, maka ini pasti sangat susah diberantas. Sementara itu, jika masalah korupsi dipahami karena kesempatan, maka ini lebih mudah diatasi. Jika kesempatan tidak diberikan, maka korupsi tidak akan ada. Sementara itu, jika dia bersandar pada dalil, maka tidak adanya kesempatan pun dia akan tetap korupsi. Di sana perbedaan di antara keduanya. Bentuk tindakan jahat lainnya pun bisa diaplikasikan dengan model pemikiran di atas, sehingga sangat berbahaya.

Apa maksud sebenarnya dari teks di atas? Maksudnya akan dimengerti dengan segera hanya ketika orang telah memiliki literasi dan kesadaran yang cukup untuk itu. Saat orang mengalami kebenaran, maksudnya dia yang menjadi satu dengan kebenaran tidak akan terjebak dalam dualitas kehidupan. Dia bertindak tidak lagi berdasarkan pemikiran baik dan buruk, sebab baik dan buruk itu adalah pertimbangan pikiran, dan pertimbangan pikiran lebih sering korup. Artinya, pikiran sering mengasumsikan sesuatu itu benar sesuai dengan keinginannya. Sementara itu, orang yang menyatu dengan kebenaran, apapun yang menjadi pikiran, perkataan dan tindakannya adalah kebenaran itu sendiri. *

I Gede Suwantana

Komentar