nusabali

Komaneka Keramas 'Hidupkan' Roh Wianta

  • www.nusabali.com-komaneka-keramas-hidupkan-roh-wianta

GIANYAR, NusaBali
Gallery Komaneka at Keramas Beach di Jalan Bypass Prof Dr IB Mantra, Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, memamerkan 19 lukisan warisan legendaris maestro seni rupa Made Wianta (almarhum).

Pameran dibuka Kepala Dinas Kebudayaan Bali Prof I Wayan ‘Kun’ Adnyana, dihadiri para budayawan, seniman, dan pencinta seni rupa, Minggu (20/12).  Tak sekadar retrosepektif (mengenang ulang) proses berkarya seni. Pameran ini tentu menjadi penguat energi jagat seni rupa, sekaligus menghidupkan roh kreativitas regenerasi yang menapak jejak Wianta.

Pameran karya Wianta ini pameran pertama pasca sang maestro berpulang, 13 November 2020.  Owner sekaligus Director Komaneka at Keramas Beach, Komang Wahyu Suteja mengatakan, pameran tersebut digelar serangkaian peringatan HUT Made Wianta (almarhum) ke-71, 20 Desember 2020. ‘’Bagi kami di Komaneka, dinamika keperupaan Made Wianta tentu bermakna khusus,’’ jelas putra Jejeneng Mpu Keris Pande Wayan Suteja Neka ini.

Khusus, jelas dia, karena sejak tahun 1998, Wianta adalah salah seorang dari sekian banyak perupa legendaris yang karya-karyanya telah dipajang di Galeri Seni Rupa Komaneka, Ubud, terutama di Gallery Komaneka Tanggayuda, Ubud. Di mata Komang, Wianta salah seorang perupa langka karena ide-idenya yang selalu cemerlang, segar, dan inovatif. ‘Ideologi’ seorang Wianta amat sesuai dengan filosofi Galeri Komaneka yang selalu  menampilkan karya-karya segar, up to date dari masa ke masa. Karena itu pula, kepergian Wianta telah meninggalkan energi dinamis bagi komunitas seni Bali, terlebih seni kontemporer yang dipelopori. ‘’Saya menangkap, karya seni merupakan potret sikap seorang Wianta terhadap masalah sosial dan politik. Ini tentu akan menjadi inspirasi bagi seniman Bali mendatang,’’ jelas pencinta seni rupa asal Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar ini.

Komang sangat terkesan dengan proses berkarya almarhum yang khas terbagi dalam tiga hal pokok. Yakni, periode Karangasem dengan ketaatan semangat tradisi, imaji sastra, dan karya-karya bernuansa kaligrafi. Menurut dia, tiga hal itu amat jarang ditemukan pada karya maestro seni rupa lain. Dia juga terkenang dengan almarhum yang rajin membagi ilmu seni kepada orang-orang di sekitar. ‘’Almarhum sangat rajin datang ke Komaneka Gallery di Ubud. Padahal, konsep kami di Komaneka Gallery lebih pada pengenalan seniman muda-muda bertalenta,’’ ujarnya. Di Komaneka Gallery, Banjar Tanggayuda, Ubud, sejak tahun 1998, mengkoleksi sekitar 30 lukisan karya almarhum.

Sebagaimana diketahui, semasa hidup Wianta menempuh pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Denpasar, berlanjut ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) atau ASRI (kini Institut Seni Indonesia/ISI) Jogjakarta. Almarhum  sempat mendalami seni lukis gaya klasik wayang Kamasan di Desa Kamasan, Klungkung, lanjut di Brussels, Belgia  pertengahan 1970an.

Pembukaan pameran diisi acara perayaan HUT almarhum yang ditandai tiup lilin bersama dan pemotongan nasi tumpeng oleh Nyonya Wianta. Hadir pada acara itu, budayawan yang mantan Rektor ISI Denpasar dan Jogjakarta Prof I Made Bandem, kurator seni rupa Jean Couteau, pemilik Museum Arma Ubud AA Rai, pencinta seni rupa Popo Danes, Putu Suasta, dan lainnya. Di sela-sela acara, Putu Suasta menyebut perayaan ini menjadi retrospeksi sekaligus ritus atas pancaran energi seni seorang Wianta kepada generasi berikutnya. ‘’Pak Wianta pelukis yang sangat dinamis dalam segala zaman. Beliau layak mendapatkan penghormatan sebagaimana perupa tingkat dunia lainnya,’’ ujar Putu Suasta. *lsa

Komentar