nusabali

Cegah Pernikahan Dini, Perlu Ada Rekayasa Budaya

  • www.nusabali.com-cegah-pernikahan-dini-perlu-ada-rekayasa-budaya

DENPASAR, NusaBali
Berdasarkan data dari statistik Unicef dan Puskapa (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak), Indonesia menempati 10 besar di dunia dengan angka pernikahan anak tertinggi.

Hal ini disampaikan oleh Meutia Hatta Swasono dalam webinar bertajuk Pendekatan Budaya Dalam Mencegah Perkawinan Anak, Senin (14/12). Dalam webinar yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama dengan Yayasan Mitra Daya Setara dalam menyambut Peringatan Hari Ibu ini, Meutia Hatta yang merupakan Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia ini mengungkapkan, bahwa perempuan muda di Indonesia berusia antara 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun mencapai 11,21%. Sementara dalam sepuluh tahun terakhir, penurunan tingkat pernikahan dini mencapai 3,5%.

Di Indonesia sendiri, perihal perkawinan dini diatur dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2014, yang menetapkan usia minimal 19 tahun bagi anak perempuan untuk menikah. “Namun di banyak kelompok masyarakat di Indonesia, masih terdapat anggapan budaya dan interpretasi budaya mengenai peraturan agama bahwa setelah haid anak boleh menikah,” papar Meutia Hatta.

Secara umum, kondisi pernikahan dini pada anak dan tingkat pendidikan rendah pada anak merupakan sesuatu yang tidak diharapkan secara nasional. Karena itulah, rekayasa budaya menjadi sesuatu yang dibutuhkan menyikapi situasi tersebut.

“Prinsipnya adalah, menanamkan cara pandang baru yang fokus pada pola pikir, bukan hanya fasilitas. Tapi pola pikir merubah bagaimana caranya menghadapi fenomena sosial baru di masyarakat akibat terjadinya perubahan sosial budaya yang cukup signifikan,” lanjut Menteri Pemberdayaan Perempuan tahun 2004-2009 ini.

Beberapa persepsi yang menggiring terjadinya pernikahan dini, yaitu faktor ekonomi. Dalam kaitannya secara langsung, sering terdapat persepsi bahwa pernikahan dini menjadi solusi untuk melepaskan anak dari kemiskinan seperti pada saat tinggal bersama orang tuanya. Pergaulan bebas juga menjadi salah satu faktor pernikahan dini, karena seringnya terjadi kehamilan di luar nikah, sehingga anak harus dinikahkan.

Sementara itu, persepsi pernikahan dini juga terdapat pasca pernikahan dini. Pada umumnya setelah menikah dini, ibu muda yang segera melahirkan akan kehilangan akses untuk peningkatan kualitas diri. “Di samping itu, sumber acuan perilaku mereka sering kembali ke ibunya yang juga tidak belum diberdayakan,” jelas Meutia Hatta.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, Gusti Ayu Bintang Darmawati yang berkesempatan hadir dalam webinar ini, turut mengapresiasi diselenggarakannya webinar ini. “Upaya ini telah menunjukkan komitmen dan langkah-langkah konkrit dalam merespon permasalahan nasional perlindungan anak, khususnya terkait masalah perkawinan anak yang sangat memprihatinkan,” ujar Menteri Bintang. *cr74

Komentar