nusabali

Perajin Tenun Pesalakan Rindu Warna Alami

  • www.nusabali.com-perajin-tenun-pesalakan-rindu-warna-alami

GIANYAR, NusaBali
Perajin kain tenun jenis Cagcag di Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, kini merindukan kembali pewarnaan kain tenun berbahan alami.

Kesan itu tersirat saat Disperindag dan Dekranasda Gianyar memfasilitasi pelatihan membuat pewarnaan berbahan alami untuk Perajin Tenun Cacag kelompok Tenun Sari Bhakti di Banjar Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, Jumat (27/11).

Disebut pewarnaan alami karena menggunakan daun-daun yang ada di sekitar lingkungan. Materi tentang pewarnaan dibawakan oleh instruktur Made Andika dari Pagi Moltly, Bali. Dia mengajarkan peserta pelatihan cara membuat berbagai warna dari berbagai jenis daun. Seperti daun Kopi untuk warna coklat, daun Mangga untuk warna kuning, daun Ketapang, dan daun Singapur untuk warna hitam, daun Kayu Secang untuk warna merah dan daun Indigo untuk warna biru.

Khusus untuk warna biru, menurut Made Andika, prosesnya agak lebih rumit dari proses pewarnan lainnya. Daun indigo perlu diproses sedemikian rupa sehingga membentuk pasta, baru bisa diolah lagi untuk pewarnaan. Saat ini dirinya fokus dulu mengajarkan membuat warna biru, karena proses membuat warna ini lumayan susah dan cukup lama.  Sedangkan untuk warna lainnya, juga sudah ajarkan mulai dari metik, memotong, hingga mengolahnya menjadi sebuah warna. ‘’Untuk proses belajar pewarnaan  kita ajarkan mulai dari persiapannya. Mulai dari memetik daun hingga diprosesnya dibutuhkan waktu berapa jam sebelum bisa diterapkan dalam benang,” jelas Made Andika.

Ditambahkan, untuk tingkat ketahanan untuk warna alam memang tidak sekuat atau seterang warna kimia dan memerlukan perlakuan yang khusus. Setelah jadi barang atau kain, kain tidak boleh dicuci dengan deterjen, harus dicuci dengan buah klerek, tidak boleh dijemur langsung dibawah terik matahari. Bahkan kain dengan warna alam tidak dianjurkan untuk digunakan terlalu sering. Maksudnya kalau terlalu sering dipakai warna lebih cepat pudar. Karena proses yang lama dan cukup rumit inilah membuat kain ini lumayan mahal harganya. “Mulai memetik daun hingga warna itu jadi, bisa memakan waktu semingguan. Minimal untuk pencelupan benang untuk  warna alam itu harus dilakukan 3 kali dalam satu jam. Itu untuk pencelupannya saja, belum lagi jika mengingikan warna yang lebih tua atau gelap lebih lama lagi. Jadi terasa wajar jika harganya lumayan mahal” kata Made Andika.

Dalam proses ini Andika juga mengajarkan bagaimana warna agar tidak luntur. Yang perlu juga ditekankan juga,  warna natural itu tidak akan pernah mendapat hasil warna yang terang atau cerah atau mengkilap. Warna alam itu cenderung soft, tua dan agak gelap istilahnya warna vintage

Terkait dengan tenun Cagcag, menurut Made Andika, penenun menggunakan benang katun. Nantinya dia akan mengajarkan ibu-ibu perajin untuk mengkombinasikan dengan benang glos yang sedikit kasar. Maka marketnya pun beda. Artinya, mengkombinasikan benang yang halus dengan dengan benang yang sedikit kasar, tapi bisa bagus hasilnya. Kain ini bisa dipakai di interior sarung bantal, tirai, table ware bahkan juga selendang. Dan harganya bisa lebih mahal. ‘’Inilah tujuan saya mengajarkan ibu-ibu disini, karena jenis kain ini kita bisa mengangkat harganya. Kalu kita bermain diwarna alam. Kita harus bisa jelaskan ke customer prosesnya bagaimana, bila perlu kita harus dokumentasikan mulai proses memetik daun, pencelupan dan hingga proses menenun,’’ ujarya. Jelas dia, pangsa pasar kain warna lama atau alami memang berbeda. Biasanya dari kalangan menengah ke atas yang memang peduli dengan kelestarian lingkungan. Mereka membeli dengan harga yang agak mahal.

Selain materi pewarnaan, peserta sebelumnya juga mendapat materi pelatihan tentang menenun dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) dari narasumber IB Adnyana di Putri Ayu Blahbatuh, Gianyar. *nvi

Komentar