nusabali

Suap Edhy Prabowo Terbongkar dari Belanja Mewah di Hawaii

Ada Rekening Mencapai Rp 9,8 Miliar Penampung Suap Menteri Kelautan dan Perikanan

  • www.nusabali.com-suap-edhy-prabowo-terbongkar-dari-belanja-mewah-di-hawaii

Jadi tersangka dugaan suap ekspor benih lobster, Edhy Prabowo minta maaf ke Jokowi dan Prabowo Subianto, sekaligisn mundur dari jabatan Menteri KKP dan DPP Gerindra

JAKARTA, NusaBali
Inilah lika-liku di balik penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo, oleh KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT), Rabu (25/11) dinihari. Kasus dugaan suap ekspor benih lobster ini terbongkar dari belanja mewah Menteri Edhy Prabowo di Hawaii, Amerika Serikat. Terungkap, ada rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp 9,8 miliar.

Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, mengatakan pihaknya sudah mengintai kasus ini sejak awal Agustus 2020 lalu. Menjelang akhir November 2020, KPK menerima informasi dugaan terjadinya penerimaan uang oleh penyelenggara negara. Hal itu terjadi 21-23 November 2020.

"Informasi adanya transaksi pada rekening bank yang diduga sebagai penampung dana dari beberapa pihak yang sedang dipergunakan bagi kepentingan Penyelenggara Negara, untuk pembelian sejumlah barang mewah di luar wilayah Indonesia," ungkap Nawawi Pomolango dilansir detikcom, Kamis (26/11).

Disebutkan, kasus ini bermula 14 Mei 2020 ketika Edhy Prabowo selaku Menteri KKP menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Pihak yang hendak menjadi eksportir benih lobster harus memenuhi penilaian Tim Uji Tuntas, sebagaimana yang tertera dalam SK itu. im Uji Tuntas dipimpin oleh Staf Khusus Edhy Prabowo, Andreau Pribadi Misanta (APS) selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas. Selain itu, juga Staf Khusus Menteri Edhy Prabowo, Safri (SAF) selaku Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas.

Awal Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP), Suharjito (SJT), datang ke Kantor Kementerian KKP untuk bertemu Safri. PT DPP hendak menjadi eksportir benih lobster (benur). Untuk mengekspor benur, maka syaratnya harus melalui PT Aero Citra Kargo (PT ACK). PT ACK ini bertindak sebagai 'forwarder' benur dari dalam negeri ke luar negeri.

"Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster, hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor," kata Nawawi.

Supaya diterima sebagai eksportir benur, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total Rp 731.573.564,00 atau Rp 731,574 juta. Pada bagian ini inilah KPK menemukan modus rekening penampung. Uang yang dikirim ke rekening tersebut yang kemudian dibelanjakan di Hawaii.

PT ACK sendiri dipegang oleh Amri dan Ahmad Bahtiar, yang diduga merupakan calon yang diajukan pihak Edhy Prabowo dan Yudi Surya Atmaja. Duit-duit dari perusahaan-perusahaan yang berminat menjadi eksportir benur, kemudian masuk ke rekening PT ACK. "Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening Amri dan Ahmad Bahtiar, masing-masing dengan total Rp 9,8 miliar," kata Nawawi.

Pada 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari PT ACK melalui rekening Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih (staf istri Edhy Prabowo) sebesar Rp 3,4 miliar, yang diperuntukkan bagi keperluan sang menteri bersama istrinya, Iis Rosyati Dewi (anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Gerindra), Safri, dan Andreau Pribadi Misanta. Duit Rp 3,4 miliar itu dipakai belanja-belanja di Honolulu, Hawaii.

"Penggunaan belanja oleh EP dan IRW di Honolulu AS ditanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sekitar Rp 750 juta, berupa jam tangan R0lex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy," papar Nawawi. "Di samping itu, sekitar Mei 2020, EP juga diduga menerima uang sebesar 100.000 dolar AS dari SJT melalui SAF dan AM. Selain itu, SAF dan APM pada bulan Agustus 2020 juga menerima uang total Rp 436 juta dari AM," lanjut Nawawi.

Sepulang dari Amerika Serikat, Selasa (24/11) menjelang tengah malam, Edhy Prabowo beserta ro-mbongan termasuk sang istri terjaring operasi tangkap tangan KPK saat tiba di Bandara Internasional Soekartno Hatta Cenkareng, Tangerang, Banten. Kemudian, mereka diamankan ke Kantor KPK.

Dalam kasus ini, KPK menjerat 7 orang sebatai tersanga. Tersangka pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP), Suharjito atau SJT. Sedangkan 6 tersangka penerima suap, masing-masing Edhy Prabowo atau EP (Menteri KKP yang juga Wakil Ketua Umum DPP Gerindra), Safri atau SAF (Stafsus Menteri KKP), Andreau Pribadi Misanta atau APM (Stafsus Menteri KKP), Siswadi atau SWD (Pengurus PT ACK), Ainul Faqih atau AF (Staf Istri Menteri KKP), dan Amiril Mukminin atau AM. Edhy Prabowo dan 4 tersangka lainnya ditahan di Rutan KPK, yakni Safri, Siswadi, Suharjito, dan Ainul Faqih. Sedangkan 2 orang lagi masih buron.

Sementara itu, tersangka Edhy Prabowo mengundurkan diri dari jabatan Menteri KKP dan juga dari Partai Gerindra, pasca ditangkap KPK. Edhy Prabowo juga minta maaf kepada Presiden Jokowi dan Ketua Umum DPP Gerindra, Prabowo Subianto yang kini jadi Menteri Pertahanan.

"Pertama, saya minta maaf kepada Bapak Presiden, saya telah menghianati kepercayaan beliau. Minta maaf ke Pak Prabowo Subianto, guru saya, yang sudah mengajarkan banyak hal," ujar Edhy Prabowo Ggedung KPK, Kamis dinihari.

"Saya mohon maaf kepada ibu saya yang saya yakin hari ini nonton di TV. Dalam usianya yang sudah sepuh ini, beliau tetap kuat. Saya masih kuat dan saya akan bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi," lanjut Edhy Prabowo, yang jadi Menteri KKP sejak Oktober 2019 lalu, sundul posisi Susi Pudjiastuti.

Seraya memohon maaf, Edhy Prabowo juga mundur dari jabatannya di Kabinet Jokowi dan Partai Gerindra. "Nanti saya akan mohon diri untuk tidak lagi menjabat sebagai menteri dan saya yakin prosesnya sudah berjalan," katanya. Buat sementara, Menko Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, merangkap jadi menteri ad interim mengisi jabatan Menteri KKP yang ditinggalkan Edhy Prabowo.  *

Komentar