nusabali

Sebagai Bentuk Sinergi Sekala-Niskala Lewati Pandemi Covid-19

Hari Ini, Pasraman Dharmasila Tampaksiring Gelar Upacara Caru Ruwat Bumi Nangluk Merana

  • www.nusabali.com-sebagai-bentuk-sinergi-sekala-niskala-lewati-pandemi-covid-19

Versi Pembina Pasraman Dharmasila Tampaksiring, Ida Bagus Made Bhaskara, upacara Ruwat Bumi Nagluk Merana juga bertujuan untuk menyeimbangkan alam, salah satunya mengatasi pandemi Covid-19

GIANYAR, NusaBali
Pasraman Dharmasila Tampaksiring, Desa/Kecamatan Tampaksiring, Gianyar akan menggelar upacara Caru Ruwat Bumi Nangluk Merana pada Budha Kliwon Matal, Rabu (25/11) sore ini. Pecaruan yang digelar di Catus Pata (Perempoatan Agung) tepat di Bencingah Puri Agung Tampaksiring ini sebagai bentuk sinergi sekala-niskala melewati pandemi Covid-19.

Upacara Caru Ruwat Bumi Nangluk Merana, Rabu sore ini, direncanakan berlangsung selama 2 jam, mulai pukul 16.00 Wita hingga 18.00 Wita. Pecaruan dilengkapi dengan pementasan sakral Barong-Rangda, Wayang Sudamala, Topeng Sidakarya, Pusaka Gong Beri, Genta Ki Kebo Gladag, dan tarian Sanghyang Jaran.

Pembina Pasraman Dharmasila Tampaksiring, Ida Bagus Made Bhaskara, yang sekaligus inisiator kegiatan ini, memastikan pelaksanaan upacara upacara Caru Ruwat Bumi Nangluk Merana sore ini taat protokol kesehatan cegah Covid-19. Jumlah krama yang terlibat, termasuk pengayah, maksimal hanya 50 orang.

Biaya pelaksanaan upacara Caru Ruwat Bumi Nangluk Merana ini, kata IB Bhaskara, dominan dari pihak Pasraman Dharmasila Tampaksiring, yang didukung oleh sejumlah donatur. Krama Desa Tampaksiring juga antusias mendonasikan bahan upakara seperti buah kelapa, pisang, daun pisang, busung (janur), dan hasil kebun lainnya. Sedangkan pengayahnya dari krama hampir semua banyar di Desa Tampaksiring.

Menurut IB Bhaskara, Perempatan Agung di Bencingah Puri Agung Tampaksiring dipilih sebagai lokasi pelaksanaan upacara upacara Caru Ruwat Bumi Nangluk Merana, berdasarkan sejumlah sastra yang diperkuat oleh wangsit (petunjuk niskala). Berdasarkan berbagai prasasti tua, Tampaksiring disebutkan sebagai ibukota tertua.

“Salah satu bukti ibukota tertua itu adalah dengan adanya Pura Tirta Empul dan Pura Gunung Kawi. Jadi, banyak catatan sejarah yang menyebutkan bahwa pusat peradaban lampau pernah terpusat di Tampaksiring," jelas Bhaskara saat ditemui NusaBali di Pasraman Dharmasila Tampaksiring, Selasa (24/11).

Terkait Covid-19, Bhaskara mengatakan upacara Caru Ruwat Bumi Na-ngluk Merana digelar, karena menganggap pandemi ini bukan hanya menyangkut sisi sekala yang berhubungan dengan medis, tapi juga karena faktor niskala. Dalam tradisi mistis Bali, ada dua bentangan Bhuana Alit dan Bhuana Agung. "Jadi, setiap yadnya (korban, Red) yang kita lakukan itu untuk Buana Agung, untuk alam semesta,” terang Bhaskara yang notabene merupakan Pembina Pasraman Dharmasila Tampaksiring.

Bhaskara menyebutkan, upacara Ruwat Bumi Nagluk Merana ini juga digelar dengan tujuan untuk menyeimbangkan alam, salah satunya mengatasi pandemi Covid-19. “Untuk bumi, bukan hanya Bali, tapi kita poroskan di Bali. Bhuana Alit-nya untuk diri kita, untuk manusia. Tidak peduli negara belahan mana, agama apa, ketika melakukan Ruwat Bumi Nangluk Merana, ya untuk bumi dan Bhuana Alit,”  jelas tokoh yang tengah menyelesaikan program Doktor di Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar ini.

Berdasarkan Lontar Penurgan Dalem Tungkup, kata Bhaskara, tertulis bahwa pada masa pandemi, wajib melakukan upacara yang bertujuan untuk penolak bala atau penangluk merana. Maka, saat pandemi Covid-19 ini, upacara Ruwat Bumi Nangluk Merana dilakukan di dua titik. Pertama, di Catus Pata Desa Tampaksiring. Kedua, di wates (perbatasan) Desa Tampaksiring.

"Perempatan agung itu simbol semesta. Perempatan agung berdampingan dengan puri. Dalam sistem kosmologi, puri istananya Dewa,” katanya. Bahskara menegaskan, upacara Ruwat Bumi Nangluk Merana ini sebagai upaya menyeimbangkan alam semesta. Maka, prosesinya sebagai penetralisasi penyakit, bukan membahayakan atau menyakiti, karena ini bagian keseimbangan.

Sementara itu, pementasan sakral Barong-Rangda, Wayang Sudamala, Topeng Sidakarya, Pusaka Gong Beri, Genta Ki Kebo Gladag, dan Sanghyang Jaran saat upacara Ruwat Bumi Nangluk Merana sore ini, dilakukan atas ada beberapa rujukan sastra. "Salah satunya rujukan adalah teks Siwa Gama, Kala Maya Tatwa, Penurgan Dalem Tungkup, dan Babad I Gde Mecaling. Dalam teks-teks ini disebutkan, pada sasih kanem nanti, tepatnya 25 November 2020, muncul berbagai kekuatan negatif, termasuk gering, sabsab, dan merana," papar Bhaskara.

Dijelaskan, penyakit itu tercipta dari kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pada teks Kala Maya Tatwa disebutkan bahwa Ida Bhatari Uma dikutuk menjadi Bhatari Durga. Saat itulah Ida berada di Setra Gandamayu. Ketika Siwa hendak bertemu istrinya, Bhatari Durga, beliau merubah wujud menjadi sosok Kala Maya.

"Supaya sosok ini seimbang, saat beliau melakukan sanggama mistis, sanggama spiritual di setra, saat itu berbagai wujud kekuatan negatif, butha dengen, termasuk wujud pertemuan dua kekuatan ini. Teks ini menjadi sumber perwujudan barong dan rangda. Jadi, Durga seperti rangda, Kala Maya barong. Semua itu bagian dari kesemestaan,” katanya. *nvi

Komentar