nusabali

Waspada Dramaturgi

  • www.nusabali.com-waspada-dramaturgi

Palemahan maupun pawongan Bali sering menjadi panggung sandiwara! Seseorang atau sekelompok orang, langsung maupun taklangsung, sengaja atau taksengaja, menampilkan pertunjukkan seni drama di gumi Bali. Lakon yang disiapkan di belakang panggung (back stage) terbungkus rapi, laten makna dan tujuan?

Di depan panggung (front stage), lakon yang muncul berbeda, populis, menarik, kadang menjebak. Banyak krama Bali ikut-manut dan tertarik dalam aktivitas terselubung. Fenomena demikian seturut dengan Erving Goofman, sosiolog, psikolog sosial, penulis abad keduapuluh kelahiran Kanada tetappi berkebangsaan Amerika terkenal,   yang menggagas teori Dramaturgi. Kelompok penyanyi cadas terkenal Godbless menyanyikan lagu dengan judul ‘panggung sandiwara’. Indah dan menarik lirik maupun aransemennya, penggemarnya menjadi banyak.

Menariknya, panggung depan dipilah menjadi dua, yaitu: ‘personal front’ dan ‘setting front’. Fron pribadi menampilkan sosok pribadi dengan artikulasi verbal menawan, berkarisma, atau fasih bahasa tubuh menawan. Sedangkan, fron latar mewadahi sosok demikian dalam lingkup, misalnya, puri atau landskap budaya sebagai asesoris meyakinkan. Dengan fron personal dan latar meyakinkan, sosok demikian cepat meraih simpati, dukungan, pengikut dan penyerta. Aktor dan aktris demikian cepat naik daun merogoh kekuasaan dan melenggang ke ranah lebih tinggi.

Sebagai aktor atau aktris di panggung sandiwara harus tahan uji, tuli cercaan, kebal caci maki, mengabaikan kebiasaan, melupakan leluhur, karena yang paling penting adalah meraup impian! Apa yang diperankan di depan panggung berbeda dengan di belakang panggung. Itulah seni peran yang dipelajari dan dipraktekkan demi menggapai tujuan. Pengikut berperan sebagai pembantu, berpakaian sesuai yang diperankan, berkata sesuai dengan skenario, tanpa memahami makna di balik itu semuanya.

Aktor utama berakting memperpendek jarak saat tampil di depan panggung, menumbuhkan kesan kerakyatan, peduli wong cilik, taat tradisi, toleran dengan kekurangan, berbekal atribut sosial dan religius menawan. Namun di balik semua itu, tak seorangpun paham kecuali dirinya sendiri! Apa yang dicari, apa yang dimaksudkan, semua  misteri, namun pasti ada udang di balik batu!!

Aktor atau aktris demikian perlu diwaspadai agar tradisi Bali lestari dan dinamis. Aktor atau aktris demikian amat piawai mendramatisasi antara “I” dan “Me”, meminjam diksi sosiolog mumpuni, George Herbert Mead, seorang filsof Amerika, sosiolog, psikolog yang berafiliasi dengan Universitas Chicago, Amerika Serikat. Menurut Mead, “I” adalah apa yang diinginkan seseorang, dan “Me” apa yang diinginkan masyarakat. Aktor atau aktris demikian amat memahami strategi untuk menundukkan pengikut dan penyerta yang lugu ilmu, lemah pemahaman sastra, miskin ekonomi, atau kurang berprinsip!

Agar tidak terseret arus aliran tidak jelas, maka sebaiknya krama Bali bercermin pada jejak leluhur. Para leluhur berimajinasi tentang Bali yang memiliki tradisi kebalian adiluhung, beretika dalam berpikir, berkata dan bertindak, berkarma baik, dan ber-acara dalam keseharian. Berbeda dengan aktor dan aktris dramaturgi, mereka berimajinasi tentang penilaian baik orang lain untuk menokohkan dirinya. Penghormatan, penghargaan, simpati, empati dan sejenisnya dari orang lain digunakan untuk meraih kedudukan, kekuasaan atau sejenisnya. Inilah perwujudan teori Cermin Charles Cooley, sosiolog berkebangsaan Amerika.

Demikian hendaknya krama Bali Hindu, dalam melakukan pendakian spiritual, jangan bercermin di air keruh. Bayangan yang tidak jelas dan cenderung tak bermakna akan memperpanjang pencapaian puncak spiritual. Mpu Kanwa telah menggubah sloka suci “Sasi wimba aneng gata mesi banyu.ndan asing suci Nirmala mesi wulan Iwa rakwa kiteng kedadin Ring angambeki yoga kiteng sekala”. Kurang lebih bermakna, Tuhan hanya menampakkan diri pada seseorang yang melakukan yoga!! Semoga. *

Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.
(Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)

Komentar