nusabali

Behind The Scene Pertuq, Film Horor Karya Siswa SMK

  • www.nusabali.com-behind-the-scene-pertuq-film-horor-karya-siswa-smk

Proses dalam membuat film merupakan sebuah proses yang sangat kompleks. Konsep awal yang dipadukan ke dalam rangkaian cerita oleh sang sutradara. Sebuah presentasi visual yang kreatif, imajinatif, brilian, serta berkualitas didukung efek suara yang berkesan bagi penonton. Kemudian diedit dengan penuh dedikasi.

DENPASAR, NusaBali
Proses dalam membuat film merupakan sebuah proses yang sangat kompleks. Konsep awal yang dipadukan ke dalam rangkaian cerita oleh sang sutradara. Sebuah presentasi visual yang kreatif, imajinatif, brilian, serta berkualitas didukung efek suara yang berkesan bagi penonton. Kemudian diedit dengan penuh dedikasi.

Pertuq, karya murid-murid SMKN 2 Kuripan Lombok Barat, mampu bersaing dan masuk dalam lima nominasi sekaligus dari total delapan nominasi NusaBali Horror Film Festival (NHFF) 2020. Nominasi Penata Suara, Sutradara, Skenario, Sinematografi dan Editing, bahkan Film Terbaik dengan sadar dan layak memasukkan Pertuq dalam nominasinya. Pada akhirnya, Pertuq, film yang diangkat dari kepercayaan khas suku Sasak ini, meraih penghargaan dalam kategori Sinematografi dan Editing Terbaik NHFF 2020 lalu.

Terharu dan bangga, itulah yang diungkapkan Febri Febrian, selaku sutradara dari film Pertuq ini. “Senang banget, nggak menyangka, rasanya campur aduk, yang pasti bangga sih karena bisa membawa nama sekolah hingga ke kancah nasional,” ungkap Febri saat dihubungi via telepon.

Film Pertuq memang menjadi satu-satunya wakil dari daerah Nusa Tenggara Barat yang ikut serta dalam ajang NHFF ini. Pertuq sendiri adalah salah satu ritual tradisional yang dipercaya masyarakat suku sasak untuk mengobati seseorang ketika kesambet arwah yang sudah meninggal dunia dengan cara menarik rambut bagian tengah selama sembilan kali sampai menghasilkan bunyi.

Tim produksi memilih tema ini karena dianggap unik dan dirasa bisa dipahami serta diterima oleh masyarakat luar. “Sepertinya belum ada yang mengambil tema ini ya. Memang mungkin ada juga di daerah lainnya tapi yang unik dari ritual ini adalah caranya itu,” jelas Febri yang baru saja memasuki kelas XII ini.

Film ini pun sebenarnya merupakan tugas akhir kenaikan kelas yang diproduksi pada awal tahun 2020 ini. Febri kemudian kembali mengungkapkan bahwa ia dan teman-temannya yang juga murid jurusan Broadcasting ini membedah dan membagi tugas secara mandiri. “Tidak ada campur tangan dari guru sedikitpun, bahkan termasuk pada tahapan pra-produksi. Dari guru-guru hanya sedikit mengarahkan dan sempat meminjamkan kamera juga,” kenangnya.

Ada cerita menarik pada beberapa pengambilan adegan pada film. “Jadi sebenarnya ada adegan dengan efek hujan itu kami take pada hari kedua dan syuting sampai jam dua malam. Sebelumnya sudah buat surat izin juga ke orangtua. Nah, kebetulan ada air di area rumah warga yang bisa kami pakai bahkan hingga habis air di kolam ikannya. Namun, karena hasilnya kurang memuaskan akhirnya kami putuskan tidak jadi mengambil bagian tersebut,” cerita Febri lagi sambil tertawa.


Selain adegan itu, ada juga pengambilan adegan hantu yang terbang dengan menggunakan green screen yang ada di studio sekolah, namun hasilnya tidak cukup bagus sehingga tim produksi memutuskan mengganti adegan. “Cahayanya tidak rata, sehingga akhirnya kita take langsung saja di lokasi dan mengubah adegannya. Hantunya kita buat datang dari arah gang sehingga tidak perlu terbang,” tambah Ari Zamanin selaku editor dalam film ini.

Tidak hanya itu, dalam proses editing sendiri, Ari sempat kehilangan data dokumen yang ia edit. Hal itu terjadi karena adanya mati lampu, padahal Ari berniat menyunting filmnya secara perlahan sembari proses shooting berlangsung. “Ya sudah kami mulai lagi dari awal,” kenang Ari sembari tertawa mengingat kejadian itu.

Proses pembuatan film ini pun memakan waktu total selama dua bulan lamanya. Febri dan Ari bercerita bahwa mereka harus membagi waktu sekolah dan shooting dengan bijak. Untungnya guru-guru di sekolah tetap mendukung kegiatan ini.

Meskipun kemenangan pada kategori Sinematografi dan Editing Terbaik pada ajang NHFF 2020 ini tidak disangka oleh Febri dkk, rupanya dari SMKN 2 Kuripan sendiri pernah meraih juara 2 pada kategori yang sama dalam ajang Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tahun lalu. “Sedikit pesan untuk pegiat seni, terutama dalam dunia perfilman untuk jangan mudah menyerah, tetap semangat berkarya meskipun pasti ada banyak tantangan. Selain itu bagaimana cara kita membuat sebuah film yang mampu diterima dan dipahami dengan mudah oleh masyarakat serta bagaimana cara kita membawa karya atau film kita ke kancah nasional supaya bisa bersaing dan bertemu dengan teman-teman lain dari daerah lain juga,” ujar Febri menutup pembicaraan.*cla

TONTON JUGA:
NusaBali Horror Film Festival (NHFF) 2020: PERTUQ

Komentar