nusabali

Menempa Bakat Seni Teater Sekolah

Kiprah Terkini Dramawan Putu Satria di Buleleng

  • www.nusabali.com-menempa-bakat-seni-teater-sekolah

SINGARAJA, NusaBali
Sosok seniman Putu Satria Kusuma tentu tak asing lagi di ranah seni drama.

Sebagai dramawan, laki-laki gondrong ini sukses melestarikan seni drama lewat teater, drama gong, bahkan perfilman. Pria berusia 57 tahun asal Kelurahan Banyuning Kecamatan/Kabupaten Buleleng ini saat ini membina tiga teater sekolah di Buleleng. Tiga sekolah ini yakni SMPN 1 Singaraja, SMPN 4 Singaraja dan SMAN 1 Singaraja.

Dia rela tak dibayar untuk mengetoktularkan ilmu dramanya kepada generasi muda Buleleng agar dapat melestarikan seni drama. Dia bertekad mendedikasikan diri untuk teater dengan melatih siswa. Karena belakangan ini dia mengamati perkembangan teater di Bali umumnya susah untuk mendapatkan aktor yang memadai. “Cita-cita saya, semua sekolah saya bina. Tetapi yang baru terjangkau saat ini baru tiga sekolah,” ucap dramawan yang masih aktif sebagai PNS di Pemkab Buleleng ini.

Penulis naskah Sinetron Memedi di stasiun TV lokal Bali awal tahun 2000an ini menilai, sejauh ini aktor yang ada di Bali umumnya hanya ingin bermain drama. Kendala untuk menciptakan aktor juga tak enteng. Saat anggota teater diajak latihan dengan ‘nafas’ yang lebih panjang dan intens, sering terkendala karena pekerjaan, kuliah, dan urusan keluarga. Minimnya aktor teater mumpuni ini mengakibatkan banyak naskah-naskah hebat tak dapat dipentaskan. Karena naskah-naskah itu membutuhkan pemain dengan penjiwaan kuat, latihan panjang, teknik bermain yang sempurna, dan penguasaan naskah yang mapan. Dia mencontohkan, sebuah naskah drama yang ditulisnya, berjudul ‘Bayangan di Depan Bulan’. Naskah ini keluar sebagai Juara Harapan I Lomba Teater Tingkat Nasional tahun 1998. ‘’Sampai saat ini, naskah saya ini belum pernah saya pentaskan. Karena saya belum menemukan aktor yang kuat, terutama penjiwaan,’’ jelas suami Dewi Wahyuni ini.

Keterbatasan aktor yang lahir murni dari pendidikan teater, tak jarang memaksa anak bungsu dari lima bersaudara pasangan (almarhum) Putu Dante - Luh Putu Suciawan ini, memberdayakan pemain yang ada. Aktor yang ada dipaksa untuk menghafal naskah yang sedemikian panjang. Caranya, tentu penguasaan naskahnya yang lebih kompromis. “Dengan kondisi ini teater yang ada di Bali sekarang adalah teater eksperimental yang tak memerlukan aktor. Cukup sutradara yang hadir langsung jadi pemain. Sama seperti pelukis yang memainkan warna sendiri,” jelasnya beranalogi.

Putu Satria menuturkan permasalahan dunia teater di Bali saat ini, tak hanya tentang aktor. Bali masih kekurangan penulis naskah teater. Kondisi itu membuat ayah dua anak ini bercita-cita dapat mencetak aktor-aktor dan penulis naskah teater di masa depan. Pembinaan dan pembibitan pun dimulainya sejak dini. Terlebih setelah pensiun tahun depan, dia berjanji lebih getol membina teater ke sekolah-sekolah.

Pria kelahiran 28 Maret 1963 ini memaparkan, pembinaan seni teater di sekolah sangat perlu dihidupkan kembali. Menurutnya, teater tak hanya dapat dipahami sebagai produk seni yang mengglobal. Seni teater adalah sebuah strategi untuk merangsang pikiran-pikiran kreatif dan inovatif siswa. Dari pengamatannya, pembinaan teater sekolah banyak yang putus. Karena seni panggung ini memang tak digarap serius, antara lain karena tak ada SDM, terutama guru teater yang mumpuni. “Sejauh ini, teater sekolah tidak dibina serius, seperti seni tari Bali. Sekolah saat ini lebih banyak menonjolkan pembinaan anak ke berpikir ilmiah. Padahal dulu, penyelundupan gagasan perjuangan kemerdekaan itu dilakukan lewat teater sekolah,” ungkapnya. *K23

Komentar