nusabali

Perempuan Bali Mengakrabi Tradisi

  • www.nusabali.com-perempuan-bali-mengakrabi-tradisi

Jalan, jejak, dan praktek perempuan Bali menjaga tradisi amat panjang. Ini bukan mitos tetapi fakta! Sejak dulu sampai kini, sejak usia dini sampai renta, mereka setia pada tradisi.

Kesetiaan mereka dalam medan diskursif terwujud dalam pelaksanaan yadnya. Kesetiaan terhadap yadnya sepertinya terpolarisasi. Laki-laki menggeluti ‘perangkat keras’, sedangkan perempuan menekuni ‘perangkat lunak’.

Pembiasaan melakukan yadnya dipupuk sejak usia dini. Anak usia dini dibiasakan tumbuh-kembang di medan adat dan budaya Bali. Setiap hari anak-anak usia ini memeroleh pajanan (exposures) pelaksanaan yadnya amat padat.  Di saat menanjak remaja, mereka bersolek cantik menghaturkan ‘canang’ atau ‘banten’, sujud bakti kepada Sang Causa Prima. Tertanam di sanubari, kewajiban ‘mebanten’ merupakan ritual sebelum persembahyangan. Semakin dewasa, terpatri dalam jiwa akan tugas perempuan yang amat berat tetapi mulia, seperti inti dharma wacana profesor Yudha Triguna yang kesohor itu.

Sesudah memasuki masa perkawinan, perempuan dewasa dan tua setia mengajegkan adat dan budaya Bali , berkiprah di dapur, ‘sanggah pemerajan’, pembuatan ‘upakara’, dan pekerjaan klasik perempuan lainnya. Mereka tidak menuntut kesetaraan jender secara ekslusif, keadilan jender memang diidamkan tetapi bila tidak terwujud reaksinya tidak amat reaktif. Kekerasan terhadap perempuan dewasa dan tua di rumah tangga kadang terdengar. Hanya segelintir perempuan yang tidak tahan lalu melapor, yang lainnya menerima kekerasan itu secara pasif. Mereka mengabdi pada satu nilai pengabdian pada suami! Tidak seperti yang dilukiskan oleh Margaret Mead, antropolog mumpuni di jaman lawas bahwa ‘women are slaves of men’, budaknya laki-laki!

Setelah upacara perkawinan, laki dan perempuan Hindu terikat resmi sebagai ‘dampati’ atau suami istri. Perempuan yang sudah bersuami berperan-fungsi sebagai ‘sukla svanittha’, bibit unggul -- fisik maupun mental-spiritual, demi terlaksananya ‘dampati’ dalam kehidupan yang serasi dan harmonis. Sifat-sifat yang diteladani, menjalankan dharma sebagai ibu pertiwi, ramah, sopan, cermat, cekatan, percaya diri, pemaaf, dan pengayom tradisi keluarga. Betapapun getir kehidupan, tradisi kebersahajaan dijunjung; semiskin apapun sumber daya perempuan Bali menggeliat untuk bisa melakukan yadnya.

Ideologi memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan Bali memang disadari. Tetapi, ia tidak mengutamakan dalam ideologi. Di ruang publik, perempuan Bali tidak menonjolkan atau memperjuangkan kesetaraan.  Kebajikan perempuan seperti ‘luh luhung’ diresapkan, sebaliknya ‘luh luhu’ dinafikan. Mereka tidak mengejar persaingan dengan pria, tidak juga menebar kebencian dengan lawan jenis. Umumnya, perempuan Bali terkesan lugu dalam berkognisi, sederhana berafeksi, dan taat berkonasi dalam adat istiadat.

Perempuan Bali sering bersikap setereotipik atau klise. Seburuk apapun perangai suami, ia  tetap menyayangi dan menghormati. Kalau bukan dia siapa lagi argumennya! Nasib yang diterima dimaknai sebagai kodrat seorang perempuan, baik maupun buruk. Komitmen terhadap keluarga tidak disangsikan lagi, menyusui, memasak, dan menyiapkan upacara. Kesehariannya, aktivitas domestik menjadi ranah setia. Pagi sebelum mentari terbit, perempuan sudah di dapur menyiapkan makanan untuk keluarga, di pasar menjual jasa atau bahan-bahan keperluan dapur lainnya. Mereka memaknai takdir sebagai kewajiban, kewajiban yang tidak meminta imbalan langsung, kewajiban untuk membuat bahagia keluarga!

Cara ibu-ibu mendidik putra dan putrinya seirama dengan tradisi leluhur. Sepertinya , mereka pantang tercerabut dari akar secui naturam tradisi. Tradisi perempuan dicontoh dan diwariskan secara apik lewat pikiran, perkataan, dan tindakan yang berbudaya dan beradab. Lewat tindak laku yang sopan, lembut, dan berkarakter mereka menididik anak sejak usia dini dengan nilai, norma, moralitas, dan etika bersumber pada tradisi yang berakar dari sastra Hindu. Demikian perempuan mengakabrabi tradisi Hindu di Bali. Semoga yang baik kekal abadi! *

Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.
(Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)

Komentar