nusabali

Semute Film Angkat Fenomena Sosial dalam Film Horor

  • www.nusabali.com-semute-film-angkat-fenomena-sosial-dalam-film-horor

Komunitas mahasiswa ini punya tekad kuat berkarya meskipun peralatan harus pinjam kampus, dan biaya produksi pun hasil pinjaman.

DENPASAR, NusaBali
Menggarap tampilan sinematografi sebuah film membutuhkan dedikasi dalam seni visual. Di balik lensa kamera, ada orang-orang yang bekerja keras menyajikan visual terbaik bagi penonton.

Dari Pulau Sumatera, karya anak bangsa dalam film Hi Ri berhasil masuk dalam nominasi Sinematografi dan Editing Terbaik pada ajang NusaBali Horror Film Festival (NHFF). Semute Film yang memproduksi film ini ternyata adalah sebuah komunitas mahasiswa Juruan Televisi dan Film Institut Seni Indonesia Padang Panjang, Sumatera Barat.

Bercerita mengenai proses pembuatan film, Alvin Faudhillah, selaku produser dan sutradara menyatakan ide cerita film Hi Ri terinspirasi berdasar pengalaman pribadi yang ia alami saat masih bersekolah dulu. “Dulu ada teman yang berkebutuhan khusus dan dia sering di-bully waktu SMK, jadi kalau buat film kita cari fenomena sosial dan saya coba angkat jadi film horor,” ujarnya saat dihubungi via telepon.

Ada yang menarik saat proses produksi film Hi Ri ini. Cast pemain yang memang dari teman-teman mahasiswa juga membuat mereka perlu mengatur waktu dengan baik. “Jadi di hari terakhir itu ternyata besoknya si pemeran utama ada ujian paginya. Jadi kami harus take buru-buru dan itu sampai subuh. Terpaksa si talent sampai tidak tidur dan ikut ujian di jam delapan paginya,” kenangnya.

Produksi film Hi Ri ini sendiri menghabiskan dana hampir sekitar Rp 8 juta. Beruntung, hampir semua peralatan yang digunakan untuk film ini dipinjam dari fasilitas kampus. “Kami cukup bersurat saja ke kampus. Tapi, ada batas waktu peminjaman dan itu empat hari. Jadi tiga hari kita take tanpa alat,” jelas Alvin yang juga merupakan ketua komunitas Semute.

Total waktu proses produksi film ini sendiri menghabiskan waktu sampai dua bulan. “Sekitar akhir tahun 2017 kita buat. Editing sampai selesai itu di tahun 2018,” tambah Alvin lagi.

Alvin juga berbagi pengalamannya pada editing yang ia dan tim produksi terapkan dalam film Hi Ri. “Saat itu sedang ingin eksplor dalam sinematografi dan editing, jadi saya dengan editor, Muhammad Hidayat, mencoba melanggar kaidah seratus delapan puluh derajat,” jelas Alvin lagi.

Ditanya mengenai tanggapan terkait ajang NHFF, Alvin mengaku tidak menyangka bisa masuk dalam nominasi Sinematografi dan Editing Terbaik. “Bisa masuk Lima Belas Besar saja sudah bersyukur sekali. Rasanya terharu bisa sampai masuk nominasi,” ungkapnya penuh semangat.

Menurutnya juga ajang NHFF ini bagus karena bisa memberikan kesempatan bagi film pendek bergenre horor untuk bisa berkompetisi dan berkembang lebih baik lagi. “Karena kalau festival film bergenre umum, yang film horor sudah pasti tersisihkan. Teman-teman di sini sampai menanyakan bagaimana caranya bisa ikut saat pengumuman lolosnya tapi waktu itu sudah selesai seleksinya,” cerita laki-laki yang baru saja tamat dari kampusnya ini.

Terakhir, Alvin berbagi tips terkait produksi film pada teman-teman sineas muda. “Untuk para pejuang film seperti saya, alangkah indahnya jika sebuah produksi film itu dimatangkan pada pra-produksi. Karena kelancaran saat produksi ditentukan dari pra-persiapan,” pungkasnya menutup pembicaraan. *cla

Komentar